Pipa sebagai Jawaban Kemandirian Energi

by

Saya masih ingat tahun 2006 dulu waktu mengikuti pelatihan kimia, diceritai oleh salah seorang dosen kimia ugm -Pak Nur Cahyo- bahwa sebentar lagi minyak tanah akan raib di pasaran, karena akan digunakan sebagai bahan bakar roket yang permintaannya meningkat. Lalu setahun kemudian, benar yang terjadi pemerintah mengeluarkan kebijakan konversi energi minyak tanah menjadi gas. Kebijakan tersebut menjadi sanjungan, karena di samping membagikan kompor dan tabung gas gratis ke masyarakat juga memberikan harapan bahwa gas adalah bahan bakar masa depan yang lebih murah dan mempunyai efisiensi lebih tinggi daripada minyak.

Namun harapan itu semakin pudar, setelah banyak korban berjatuhan akibat tabung bocor atau penggunaan yang tidak sesuai prosesdur. Di samping itu, hal yang tidak bisa ditutup-tutupi adalah harga gas 3kg makin lama merangkak naik, walaupun pemerintah telah menyubsidikannya. Menurut direktur pemasaran pertamina, kebutuhan dalam negeri LPG tahun 2015 mencapai 6,6 juta MT (metric ton), dari angka tersebut yang harus diimpor sebesar 4,4 juta MT atau sebesar 67% karena pasokan dalam negeri hanya mampu menyediakan 2,2 juta MT. Jadi sangat wajar di saat nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar as melemah, harga lpg 3kg di pasaran mencapai 20 ribu rupiah.

Mengapa Indonesia masih mengimpor gas, padahal Indonesia kaya akan cadangan gas?

Sebelumnya kita harus memahami bahwa gas, -sama dengan minyak- juga ada bermacam-macam. Gas yang paling umum dikenali adalah LPG (Liquid Petroleum Gas), LNG (Liquid Natural Gas) dan CNG (Compressed Natural Gas). Pada dasarnya LNG dan CNG adalah gas yang sama yaitu mempunyai komponen utama Methana (CH4), akan tetapi berbeda dalam pengemasannya. Gas LNG dikemas (disimpan) dalam bentuk liquid dengan cara mendinginkannya sampai -150°C dan tekanan 17 bar.g. Sedangkan CNG disimpan dalam bentuk gas yang mempunyai tekanan yang tinggi. Berbeda dengan LNG dan CNG, gas LPG adalah gas yang mempunyai komponen utama Propana (C3H8) dan Butana (C4H10) yang lebih berat daripada Methana sehingga lebih mudah untuk dicarikan. Itulah kenapa gas dalam tabung yang digunakan untuk memasak adalah gas LPG, karena tidak mungkin menggunakan LNG yang harus disimpan dalam suhu -150°C.

Menurut kementrian ESDM, Indonesia mempunyai cadangan gas sebesar 170 TSCF (triliun standard cubic feet) yang konon adalah cadangan gas terbesar ke 2 di Asia.Bahkan saat ini, Indonesia mengekspor 40% gas dari pasokan yang tersedia. Namun, cadangan gas tersebut berupa gas alam (bahan baku LNG & CNG), itulah jawaban mengapa Indonesia saat ini masih mengimpor LPG, karena Indonesia tidak kaya akan gas LPG.

Untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor LPG, apakah LNG/ CNG bisa menggantikan LPG?

Jawabannya adalah pipa, karena LNG/CNG tidak mungkin didistribusikan dengan tabung-tabung kecil, melainkan didistribusikan langsung dengan jaringan pipa. Dari sumber gas yang tersebar di wilayah Indonesia, harus segera dibangun pipa distribusi menuju kota-kota besar dan kawasan industri. Dari pipa distribusi tersebut kemudian ditie-in pipa transmisi yang mengantarkan gas ke dapur-dapur, SPBG, pabrik-pabrik dan pembangkit.

Menurut rencana kementrian ESDM tahun 2010, sampai tahun 2025 Indonesia akan membangun pipa distribusi sepanjang 4.000km yang membentang antara Natuna, Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan Sumatera, belum termasuk pipa transmisi. Masa depan Indonesia adalah pulau-pulau yang dialiri gas dengan pipa yang bercabang-cabang seperti pembuluh darah di dalam tanah. Dengan begitu, Indonesia akan lebih dekat dengan tujuan kemandirian energi, walaupun tentu saja untuk membangun infrastruktur pipa sepanjang itu menelan biaya yang tidak sedikit.