Menjadi Penyair

by

Ketika diminta untuk mendeskripsikan dirinya dalam satu kata, dengan bangga orang besar bernama W.S. Rendra itu menjawab : penyair. Walaupun ia sangat piawai dan begitu master dalam dunia teater, tetapi ia memilih disebut penyair, ketimbang dramawan atau sastrawan. Mungkin ia menyadari dirinya sebagai apa yang diungkapkan Khalil Ghibran : Penyair adalah Raja tanpa tahta, yang duduk di singgahsana abu, dan mencoba membangun hayalan dari abu itu.

Semua penyair, di belahan bumi manapun ia tinggal, di jaman apapun ia hidup mempunyai satu kesamaan, sebuah kepekaan. Sehingga dengan jiwanya yang sangat halus ia bisa meraba penderitaan, walaupun penderitaan itu tak nampak atau sengaja ditutupi. Dengan jiwanya yang halus itu pula, ia dapat menularkan rasa penderitaan yang dilihatnya dengan medium kata-kata. Kata-kata tak jauh beda dengan cat yang digunakan pelukis untuk melukis sesuai kehendak jiwanya, kata-kata begitu nyata, dapat dibaca, sedangkan peng-rasaan jiwa tak dapat dilihat oleh siapapun, ia ghoib. Kenapa seseorang disebut penyair, karena ia piawai dalam mentransformasikan peng-rasaan jiwanya ke dalam kata-kata. Penyair menciptakan suasana batin, bukan sekadar menumpuk kata-kata indah.

Lalu, bagaimana seseorang menjadi penyair? Bagaimana ia menyandang gelar itu. Tentu W.S. Rendra bukan sekadar mengaku-ngaku sebagai penyair, ia telah diakui sebagai penyair, sastrawan ataupun dramawan, tetapi ia menandaskan diri bahwa ia lebih menghayati diri sebagai penyair, dan tak pernah ada orang yang protes. Produk seorang penyair adalah syair, atau puisi, atau sajak. Syair, puisi, atau sajak adalah sastra murni – begitu Sudjiwo Tedjo memberi istilah -, tak seperti prosa atau naskah pementasan yang merupakan pseudo sastra, atau kalau boleh dikatakan sastra terapan.

Syair, puisi atau sajak adalah bagian dari bahasa, yang juga bahasa adalah bagian dari kebudayaan. Dari jaman ke jaman sastra dan bahasa selalu berkembang, begitu juga dengan “gelar” penyair dialamatkan . Penyair, atau pujangga sudah ada sejak jaman Yunani, bahkan sejak manusia mengenal tulisan. Di Nusantara, punjangga ada sejak jaman kerajaan, di mana dahulu seorang pujangga bergelar Empu yang ditunjuk oleh Kerajaan untuk membuat kisah kejayaan raja-raja. Tentu saja, waktu itu tidak semua orang bisa menulis, para Empu adalah orang-orang yang mempunyai pengetahuan serta kemampuan menulis sehingga mereka disebut pujangga.

Setelah era kerajaan (Hindu-Budha) runtuh di Nusantara digantikan dengan kerajaan-kerajaan Islam, gelar pujangga pun tidak lagi dialamatkan pada mereka yang ditunjuk kerajaan dan menulis kitab-kitab. Karena pengaruh Islam yang kuat, corak syair pun mengikuti gaya timur tengah, di mana seorang pujangga adalah mereka yang menulis hikayat-hikayat, syair serta gurindam. Setelah penjajah dari barat masuk ke nusantara, corak sastra-pun berkembang lagi mendapat pengaruh dari barat, di mana karya-karya sastra lebih bebas tidak terikat oleh pakem-pakem. Pada masa ini siapapun dapat menyandang gelar pujangga, selama ia mempunyai karya sastra berupa prosa atau puisi.

Setelah itu, pada masa-masa perang kemerdekaan, gelar pujangga atau penyair lebih dialamatkan kepada mereka yang mempunyai keberanian untuk melawan, tentu saja melalui karaya-karyanya. Dengan ini, menulis puisi atau prosa saja tidak cukup untuk seseorang menyandang gelar penyair. Begitu terus berlangsung sampai jaman orde baru dan reformasi, gelar penyair tidak bisa dilepaskan dari semangat perlawan atau paling tidak keintelektualan dalam karya-karya mereka yang bertema sosial-politik.

Lalu, sekarang sudah masuk era cybersasta, siapa mereka yang dapat menyandang gelar sebagai penyair?

Sejak reformasi, orang-orang sudah tak kagum lagi dengan pembacaan puisi dan sajak-sajak perlawanan terhadap kekuasaan. Pembacaan puisi, dengan teriakan parau dan kata-kata menentang, sudah tak dilarang. Oleh karena itu, tak cukup menyandangi gelar penyair pada mereka yang suka menulis puisi, dan membacakannya di café-café. Di era cyber ini, puisi bertebar di mana-mana, tercecer di media sosial atau blog-blog pribadi.

Dari jaman ke jaman, penyair adalah gelar yang disematkan, gelar yang diberikan oleh orang-orang yang mengakuinya sebagai penyair. Sekarang, jika saya rajin menulis puisi dan memostingkannya pada blog pribadi saya, apakah lantas orang-orang akan mengakui saya sebagai penyair? Jawabannya tidak.

Dunia kepenyairan modern mempunyai ruangnya sendiri, ia mempunyai standar-standar pengakuan tersendiri. Adapun penyair-penyair yang mempunyai pengakuan di luar kepenyairan, seperti masyarakat umum, adalah berkat karya-karyanya ataupun perbuatannya yang mencuri perhatian banyak orang. Tetapi pada jaman cybersastra ini, sulit sekali mencuri perhatian masyarakat umum dengan karya maupun pembacaan puisi. Alhasil, mereka yang disebut penyair terisolasi di ruangnya sendiri.

Akhirnya, jika ingin mendapat gelar pengakuan sebagai “penyair”, kita harus masuk ke dalam ruang kepenyairan, dengan bergabung komunitas-komunitas sastra, rajin membaca buku-buku sastra, bergaul dengan orang-orang sastra, dan tentunya mengirim puisi di rubrik-rubrik puisi majalah sastra.

Atau pilihan lainnya, menjadi penyair yang tak butuh pengakuan dari siapapun, kecuali perempuan yang kita rayu-rayu. Toh, seperti pahlawan, ini hanyalah soal pengakuan, ia berguna bagi siapa.