Catatan Perjalanan ke Gunung Sumbing via Butuh Kaliangkrik

18-20 Maret 2017


Mukadimah : Biasanya saya tidak pernah bikin catatan perjalanan setelah jalan-jalan, tetapi akhir ini saya sadar telah banyak berhutang informasi : bahwa sebelum melakukan perjalanan setidaknya saya membaca 3 sampai 5 catatan perjalanan dari blog-blog pribadi sebagai bekal. Setidaknya dengan menulis saya bisa merasa melunasi hutang-hutang informasi tersebut.

18 Maret 2017 08.00 --- Dengan badan yang masih kurang istirahat karena hanya tidur 2 jam setelah subuh, saya berangkat dari rumah saya di Bantul dengan mengendarai sepeda motor tua “Shogun Kebo” yang saya beli saat masih mahasiswa dulu, setelah saya lulus dan bekerja sepeda motor tersebut dipakai oleh bapak untuk bekerja wira-wiri di Yogya.



Perjalanan kali ini seperti perjalanan sebelum-sebelumnya saya tidak melakukan persiapan apapun, mungkin saya orang yang malas atau tipe orang yang deadliner. Alhasil saya berangkat dengan tas keril Consina 50L yang hanya diisi dengan baju ganti.

Tujuan saya pertama kali tentu saja, tempat penyewaan perlengkapan mendaki gunung, saya pilih tempat penyewaan “Anak Rimba Adventure” yang berlokasi di Samirono karena dulu saya biasa menyewa di sini. Sebelumnya sudah saya list di note HP apa-apa yang harus disewa yaitu : Tenda, Matras, Sleeping Bag, Nesting, Kompor, Lampu Tenda dan Senter dengan total biaya Rp 88.000,-. Bagi orang yang tidak rutin mendaki seperti saya lebih menguntungkan untuk menyewa daripada membeli alat-alat tersebut karena tidak perlu maintenance bahkan tidak perlu mencuci/ membersihkan setelah selesai dipakai.

Sungguh sial –karena minim persiapan- KTP saya tertinggal di rumah, yang mengharuskan saya meninggalkan SIM C karena tempat penyewaan tidak menerima ID selain KTP atau SIM. Dengan modal nekat saya berangkat tanpa membawa SIM berharap tidak bertemu masalah dengan Polantas selama di perjalanan.

Setelah mendapat perlengkapan utama mendaki, kemudian saya mencari perbekalan dan barang-barang perintilan seperti : gas butane, korek api, kaos kaki, buff, peniti, dan apa saja yang terlintas di kepala yang kemungkinan dibutuhkan selama perjalanan.



11.00 --- Tas keril saya telah penuh dengan perlengkapan tempur –minus logistik makanan karena berencana membeli makanan di sekitar basecamp. Saya genjot motor dan melesat ke arah terminal Jombor karena teman saya –sebut saja Bunga telah menunggu selama 1 jam di sana.

11.30 --- Sebelum dhuhur perjalanan ke base camp pendakian Gunung Sumbing via Butuh Kaliangkrik pun dimulai. Untuk menuju desa Butuh, kita mengandalkan peta dari eyang Google dan ditunjukkan jalan yang menurutnya paling cepat yaitu melewati Jl. Magelang ke arah utara sampai pertigaan Mertoyudan belok ke kiri lurus sampai masuk jalan-jalan alternatif dan akhirnya nembus ke Jl. Raya Kaliangkrik tepatnya di Pasar Kaliangkrik dan kita pun berhenti untuk istirahat dan bertanya ke arah mana Desa Butuh. Dari Pasar Kaliangkrik masih lurus ke arah utara sampai nanti ketemu pertigaan yang menunjukkan arah Curug Silawe ke arah timur (naik ke atas) dan mengikuti jalur itu nanti akan sampai di pertigaan dekat SD yang ada papan penunjuk arah kecil menuju Gunung Sumbing. Selama perjalanan sangat disarankan untuk rajin bertanya ke orang sekitar karena minimnya informasi tertulis dan sudah sulit mengandalkan Eyang Google karena sinyal yang terbatas.

Setelah mengendara selama 20menit-an nanti akan terlihat ladang-ladang perkebunan yang menunjukkan bahwa kita sudah berada di daerah kaki Gunung Sumbing. Pada saat itu cuaca mendung sehingga kegagahan Gunung Sumbing tidak terlihat sehingga tidak bisa dijadikan patokan arah.



Sebuah incident kecil ketika menaiki salah satu tanjakan, “Kebo” saya tidak kuat dan mulai kehilangan daya, akhirnya si Bunga saya suruh turun dan jalan kaki supaya beban si Kebo berkurang. Lima menit saya berjalan dengan meninggalkan Bunga di belakang, tiba-tiba ada mobil bak terbuka yang menyalip saya dan si Bunga ternyata sudah nangkring di bak tersebut bersama dengan ibu-ibu dari ladang. Orang-orang di lereng gunung memang terkenal tolong-menolong dan keramahannya tidak ketulungan, bahkan jika ada orang asing mereka sangat ramah dan welkam sekali.



Untuk menghindari incident seperti itu, disarankan untuk menuju Base Camp Butuh harus menggunakan sepeda motor yang strong dan sehat syukur dengan tenaga 2 tak. Karena banyak tanjakan panjang yang kemiringannya sekitar 60deg.

13.45 --- Dengan modal bertanya beberapa kali kepada penduduk, akhirnya pukul 13.45 kita sampai di Base Camp Butuh yang memang tempanya “nylempit” agak susah ditemukan. Beberapa meter sebelum basecamp tiba-tiba hujan turun dengan derasnya, dan gundah seketika karena rencana pendakian terancam gagal jika hujan tidak berhenti. Sedikit agak lega karena di halaman base camp sudah terparkir beberapa sepeda motor yang artinya kita tidak akan mendaki berdua saja.



Masuk ke Base Camp langsung berkenalan dengan beberapa pendaki yang baru saja turun dan yang baru akan naik, pendaki yang akan naik adalah rombongan dari Semarang dan saya langsung menawarkan diri untuk bergabung. Setelah itu kita laporan dengan penjaga Basecamp dan memesan teh panas dan makan siang.



15.00 --- Hujan belum juga berhenti, cuaca masih tidak bersahabat untuk mendaki. Serombongan pendaki dari Solo baru saja tiba ke basecamp. Sambil memantau cuaca, kita pergi ke warung yang letaknya di sebelah barat Baecamp untuk membeli logistik makanan. Makanan yang kita beli : Beras, Tempe, Mie Instan, Minyak Goreng, Jahe Kopi Sachet, Air Mineral, Bawang, Cabai, Garam, Sosis dan kerupuk dengan total pengeluaran Rp 45.000,-.



17.00 --- Setelah mengobrol sana-sini dengan beberapa pendaki dan tertidur kira-kira setengah jam akhirnya Gunung Sumbing mempersilakan kami untuk mendakinya dengan menghentikan hujan, walaupun langit masih mendung, tetapi penjaga Base Camp mengijinkan kami untuk mendaki.

Dari Base Camp ke Camp 1

Dari Basecamp kita menuju gerbang pendakian yang jaraknya hanya 5 menit berjalan kaki, di gerbang tersebut kita sempat berfoto-foto sekitar 5 menit kemudian langsung melanjutkan pendakian dengan medan jalan berundak batu kemiringan 45° yang digunakan para peladang untuk pergi ke kebun.





Dari gerbang pendakian sampai Camp 1 kita membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam, dengan pemandangan kiri-kanan adalah lereng-lereng gunung yang disulap menjadi perkebunan sayuran. Sebelum sampai Camp 1 hari sudah gelap dan melewatkan adzan maghrib, masing-masing dari kita mengeluarkan senter masing-masing.

19.00 --- Sekitar pukul 7 malam kita sampai Camp 1 yang ditandai dengan batas antara perkebunan warga dengan hutan. Di Camp 1 tersebut disediakan tempat berteduh dengan konstruksi kayu dan atap seng. Kira-kira 15 menit istirahat, kemudian langsung melanjutkan perjalanan ke Camp 2.

Dari Camp 1 ke Camp 2 Kontur jalan pendakian kurang lebih masih sama, yaitu jalan berundak tetapi batu yang disusun jarang-jarang sehingga jalan lebih licin jika dibandingkan dengan jalur menuju Camp 1. Pemandangan kiri-kanan adalah hutan cemara yang tidak terlalu lebat. Perjalan dari Camp 1 ke Camp 2 kita tempuh dengan waktu sekitar 1,5 jam.



20.45 --- Sampai di Camp 2. Selama perjalanan gerimis rintik-rintik, tetapi tidak mengganggu perjalanan jadi tetap Go Ahead. Di Camp 2 kita mengisi tenaga dengan memasak air dan menyeduh kopi jahe untuk menghangatkan badan. Dalam kondisi yang berat seperti pendakian malam, badan harus diberikan hak-haknya supaya tidak nge-drop. Di Camp 2 ini ditandai dengan perubahan vegetasi hutan dari Pohon Cemara ke Pohon semacam Sengon –saya tidak tahu pasti nama pepohonannya. Di Camp 2 disediakan gubuk beratap seng sama seperti di Camp 1 dan bisa untuk mendirikan 2 tenda.

Dari Camp 2 ke Camp 3 Kalau teman-teman pendaki bilang jalur ini adalah bonus karena berbeda dengan jalur dari Base Campe sampai Camp 2 yang terus menanjak, jalur Camp 2 ke Camp 3 adalah perjalanan relatif datar mengitari perut Gunung Sumbing dari sebelah selatan (Camp 2) ke sebelah Timur. Walaupun jalurnya datar akan tetapi jalur ini relatif sangat panjang dan resiko tinggi karena jalur jalan setapak dengan sebelah kiri tebing dan sebelah kanan jurang. Dari Camp 2 ke Camp 3 akan melewati 9 sungai yang dijembatani dengan bebatauan alami.

Yang menarik dari jalur Camp 2 ke Camp 3 adalah gemerlap Kabupaten Magelang & Kota Magelang di malam hari yang terlihat jelas, seperti pemandangan di puncak Bogor atau Bukit Bintang Jogja. Untuk sampai di Camp 3 kita membutuhkan waktu sekitar 2 jam.

23.00 --- Karena kita sudah istirahat cukup lama beberapa meter sebelum Camp 3, kita memutuskan untuk melewatkan Camp 3 dan langsung menuju Camp 4. Boleh dikatakan Camp 3 adalah akhir dari perjalanan mendatar mengitari perut Gunung Sumbing, dan dilanjutkan dengan pendakian menanjak 60° bahkan lebih, jalur ini adalah medan terberat. Sebelum habis jalur mendatar, nanti akan melewati jembatan iblis –begitu mereka menyebutnya karena harus sedikit merayap di tebing batu dengan pijakan hanya cukup satu kaki dan di sisi kanan bawah terdapat jurang sekitar 10 meter.

Bencana terjadi beberapa meter sebelum Camp 4 yang merupakan Camp terakhir, badai menerpa dengan hujan dan angin yang kencang. Dengan medan yang menanjak curam kita berjuang untuk secepatnya mencapai Camp 4 supaya bisa mendirikan tenda. Di jalur ini Bunga sudah nyebut-nyebut tidak kuat dan mau pingsan karena kedinginan, sebagai orang yang bertanggungjawab tentunya saya sudah sangat panik jika terjadi apa-apa, ancaman paling nyata adalah hypothermia. Atau jika dia pingsan kita akan sangat kesulitan menggotong/ menyeretnya karena medan yang sangat curam. Dengan panik saya menarik setengah menyeret sambil terus bilang “itu dekat lagi”, sementara dia sudah tidak berkata apa-apa hanya meringis-meringis menahan dingin dan kehabisan daya.

Alhamdulillah akhirnya dia kuat sampai di Camp 4 dan saya lega ternyata sudah ada tenda yang berdiri, Bunga langsung saya masukkan ke tenda terdekat dengansebelumnya ijin ke empunya Tenda untuk minta pertolongan. Sementara Bunga dievakuasi ke dalam tenda, saya mendirikan tenda di tengah hujan angin dan pakaian basah. Tidak sampai setengah jam tenda berdiri dan saya pun langsung ganti baju pakaian kering, kemudian memasak air dan mie instan. Sementara badai masih terus menerpa sampai kita tertidur sekitar pukul 02.00.



05.30 --- Terbangun karena bunyi alarm dari handphone. Seketika langsung tidak semangat bangun mendengar bunyi tenda yang masih diterpa hujan angin di luar. Yang pasti tidak akan menikmati pemandangan sunrise dan terancam gagal untuk melanjutkan ke puncak.

06.15 --- Dengan rasa dingin dan malas saya keluar tenda untuk melihat suasana. Ternyata hujan sudah reda namun angin masih kencang dan langit masih mendung. Di ufuk timur, sinar matahari kuning tak kuasa menembus gumpalan-gumpalan awan mendung. Dan beberapa tenda yang berdiri masih sunyi, hanya ada satu dua pendaki yang keluar dari tendanya.

07.30 --- Angin sudah mulai bersahabat. Geliat aktifitas di Camp 4 sudah mulai terlihat, kita mulai memasak nasi dan air untuk sarapan. Menu pagi ini adalah tempe goreng dengan bumbu bawang ditambah sosis goreng, terasa nikmat sekali di tempat yang sangat jauh dari warung nasi padang.



09.00 --- Keluar tenda untuk menjemur pakaian dan perlengkapan yang basah termasuk jaket, walaupun tidak cerah tetapi cukup untuk meng-angin-angin-kan. Saatnya berfoto-foto ria sambil mengobrol bersama pendaki yang lain, hampir semua pendaki berencana untuk langsung turun karena sudah terlalu siang untuk melanjutkan perjalanan ke puncak yang memakan waktu sekitar 2 jam dari Camp 4. Ya sudah, apa boleh buat, ego untuk menggapai puncak harus dikalahkan melihat situasi yang tidak mendukung.

10.00 --- Kita mulai packing dan membongkar tenda karena target untuk turun sebelum jam 12 siang. Setelah selesai packing, alhamdulillah diberikan cuaca yang cerah untuk berfoto-foto sekitar 15 menit. Setelah itu cuaca mulai mendung dan berkabut lagi.









11.20 --- Perjalanan turun pun dimulai, normalnya perjalanan turun dari Camp 4 dapat ditempuh sekitar 4 jam. Jadi target sampai Base Camp pukul 16.00 supaya perjalanan kembali ke Yogya sebelum hari gelap

Namun perjalanan turun terasa lebih berat karena harus membawa pakaian satu stel yang basah semua, salah saya karena membawa celana bahan jeans casual yang tebal menyerap air dan banyak sakunya ditambah kaos katun dan baju lengan panjang. Di samping membawa keril yang lebih berat, ujung jari-jari kaki terasa sakit entah karena efek design sepatu (hitech) atau efek fatigue kaki. Saya putuskan untuk melepas sepatu dan mengganti dengan sendal, kaki sudah lumayan akan tetapi beban di punggung semakin berat karena ditambah dengan sepatu basah.

Saat perjalanan turun ada sebuah incident kecil, saya terpeleset di sungai dan handphone tercebur ke kubangan air. Seketika langsung saya angkat dan ternyata hp masih aktif, kemudian hp saya non-aktifkan untuk menghindari konslet yang bisa menyebabkan handphone matot alias mati total.

15.00 --- Pesimis bisa sampai basecamp jam 16.00 karena jam 15.00 baru sampai Camp 2. Setelah perjalanan yang semakin berat karena pundak sudah tidak bisa berkompromi, kita semakin sering berhenti untuk istirahat. Akhirnya adzan maghrib kita baru sampai di gerbang Pendakian.

18.15 --- Sampai dengan selamat di Base Camp, langsung memesan teh panas dan mie instan rebus. Setelah makan, kita ishoma dan re-packing sampai pukul 19.15.

19.30 --- Berangkat dari Base Camp menuju Yogya. Karena kondisi sudah gelap, kita sempat bingung jalan keluar dari Desa Butuh dengan medan yang sangat curam tentunya resiko tinggi sekali mengingat motor Kebo saya tidak terlalu waras. Kitapun meminta bantuan salah satu warga untuk mengantar sampai ke luar desa Butuh, beruntung sekali ada bapak-bapak yang bersedia mengantar, kemudian kita ditunjukkan aarah jalan keluar ke arah Jl. Bandongan untuk melewati Kota Magelang.

Dan perjalanan hororpun dimulai. Kita hanya motor sendiri berboncengan melewati bulak (jalan tengah sawah) yang sangat panjang dengan jalan cor blok yang sedikit rusak. Sepanjang perjalanan kita tidak bertemu orang satu-pun. Perjalanan melewati bulak yang sepi nan panjang kita tempuh kurang lebih selama 1 jam. Sepanjang perjalanan hanya bisa menahan nafas dan diliputi sara khawatir karena tidak sempat cek bensin apakah masih atau tidak (indikator bensin di speedometer sudah malfungsi). Jika si Kebo tiba-tiba macet di tengah jalan karena kehabisan bensin atau rewel, tidak ada yang bisa dimintai bantuan dan jalan ke depan maupun ke belakang sangatlah jauh bila harus menuntun motor. Sudah terlanjur basah untuk kembali, kita nekat dengan modal bismillah untuk melewati bulak panjang itu.

20.30 --- Alhamdulilah wa syukurillah akhirnya kita bertemu dengan jalan aspal. Walaupun jalan aspal, tetapi tidak ada lampu yang menerangi tetapi setidaknya jika sepeda motor bermasalah ada satu/dua motor yang lewat untuk dimintai bantuan. Jalan aspal tersebut adalah Jalan Raya Bandongan – Kaliangkrik. “Oh Tuhan ternyata kita masih jauh dari Kota Magelang, dan masih jauh dari Yogya”. Setelah isi full bensin di sebuah warung sekalian tanya arah jalan ke Kota Magelang, kita melanjutkan perjalanan ke Jalan Raya Bandongan – Magelang.

21.15 --- Akhirnya kita sampai di Kota Magelang, walaupun masih jauh dari Yogya kita sedikit lega karena beberapa jam yang lalu kita masiha ada di tempat antah berantah gelap yang jauh dari gemerlap lampu. Selama perjalanan Magelang – Yogya, tantangan berikutnya adalah rasa kantuk –mengingat tadi malah hanya tidur kurang dari 4 jam dengan kegiatan yang menguras fisik. Bahkan saya sempat tertidur sebentar saat berhenti di lampu merah. Di sekitar Muntilan kita berhenti untuk di angkringan untuk mengusir rasa kantuk dan istirahat sebentar.

22.30 --- Sampai di Yogya dengan selamat.

Gambling Proyek Pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Saat itu 9 November 2014, belum genap sebulan setelah pelantikannya, Presiden Joko Widodo melakukan lawatan ke China. Berniat untuk melihat pelabuan dan pusat pembangkit listrik di Kota Tianjin, rombongan presiden menggunakan kereta cepat China Railway High-speed (CRH) dari Kota Beijing. Sepulang dari kunjungan itulah awal mula Sang Presiden kepingin Indonesia mempunyai kereta cepat, lebih-lebih setelah mendengar negara tetangga Singapura dan Malaysia mengumumkan bahwa mereka akan membangun kereta cepat dengan jalur Singapura-Kuala Lumpur sepanjang 340km. .

Namun sebenarnya, gagasan pembangunan kereta cepat di Indonesia sudah ada sejak jaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada saat itu Jepang melalui JICA (Jepang International Cooperation Agency) sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang bantuan untuk negara-negara berkembang telah melakukan feasibility study.

Setelah itu proyek pembangunan kereta cepat diperebutkan antara Jepang dan China, Jepang merasa berhak atas pembangunan mega proyek tersebut karena sudah sejak jauh-jauh hari telah melakukan feasibility study, di samping itu teknologi Jepang di bidang kereta cepat adalah no.1 di dunia terutama dari segi safety. Namun akhirnya pemerintah melalui keputusan presiden menolak tawaran baik dari Jepang maupun China dengan alasan keduanya meminta keterlibatan pemerintah terutama dalam jaminan dengan uang APBN.

Hal pertama yang perlu disoroti dalam keputusan itu adalah sebenarnya bagaimana niat awal seorang Presiden ingin membangun kereta cepat sehingga keinginan itu menjadi anti klimaks setelah penolakan kedua proposal baik dari Jepang maupun China. Jika alasannya adalah tidak ingin menggunakan uang APBN kenapa tidak disampaikan dari awal? Sehingga persyaratan pelelangan menjadi jelas dan tidak ada yang dikecewakan. Atau niat pembangunan kereta cepat yang tercetus langsung dari seorang Presiden itu hanyalah iseng? keinginan yang muncul sesaat setelah merasakan menaiki kereta cepat di China ditambah dengan rasa gengsi karena negara tetangga juga berencana akan membangun kereta cepat. Penulis tidak tahu.

Namun bisa jadi penolakan kedua proposal baik dari Jepang maupun China tersebut merupakan strategi dari pemerintah untuk memuluskan China menjadi pemegang mega proyek tersebut, dengan menyingkirkan Jepang karena skema bisnis yang diajukan pemerintah tidak sesuai dengan regulasi pemerintahan di Jepang. Buktinya, setelah penolakan kedua proposal tersebut akhirnya China menyetujui skema yang diajukan pemerintah yaitu proyek dikerjakan tanpa menggunakan jaminan APBN, digantikan dengan modal pinjaman yang diberikan China Development Bank (ODB).

Akhirnya pada Hari Jumat 16 Oktober 2015 telah ditandatangani joint venture antara Konsorsium BUMN Indonesia dengan Konsorsium BUMN China. Konsorsium BUMN Indonesia terdiri dari PT KAI, PTPN VIII, PT Jasa Marga dan diketuai oleh PT. Wijaya Karya yang membentuk PT. Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI). Pembangunan mega proyek senilai USD 5,5 Milyar atau sekitar 74 Trilyun rupiah tersebut 75% berasal dari pinjaman China Development Bank (ODP) dan sisanya 25% berasal dari patungan antara PSBI dan China Railway International Co. Ltd. Setelah proyek tersebut jadi pembagian porsinya 60% untuk PSBI dan 40% untuk China Railway International Co. Ltd.

Walaupun sejak awal pemerintah menyatakan tidak akan memberikan jaminan APBN pada mega proyek kereta cepat tersebut, akan tetapi melalui staf khususnya Kementrian BUMN menyatakan bahwa aset BUMN yang tergabung dalam konsorsium dijadikan jaminan, itu artinya pemerintah telah mememberikan aset BUMN konsorsium dijadikan jaminan menggantikan APBN.

Dengan kondisi berikut, kembali kepada niat awal pemerintah ingin membangun kereta cepat untuk apa? Dengan dana sebesar 74 Triliun rupiah dan aset BUMN menjadi jaminan, seharusnya niat pembangunan proyek ini bukan sekadar proyek "kepingin" tanpa didasari studi kelayakan yang jelas. Banyak pengamat yang sudah mengingatkan dan mengkritik mega proyek ini sejak pertama diwacanakan. salah satunya dari pengamat ketua INSTRANT (Institut Studi Transportasi) Pak Darmaningtyas menuliskan "Pemerintah tidak boleh melakukan hal-hal yang mubazir, tapi berdaya guna bagi warganya, terlebih mengingat masih banyak daerah lain mengalami defisit infrastruktur lantaran investor (asing maupun dalam negeri) tidak mau masuk ke sana. Jauh lebih efisien dan bijak bila pemerintah melakukan upgrade terhadap kondisi jaringan rel Jakarta – Bandung agar kecepatannya dapat ditingkatkan sehingga Jakarta – Bandung atau sebaliknya dapat ditempuh maksimal dua jam dari tiga jam perjalanan yang ada saat ini."

Pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung yang akan dimulai awal tahun 2016 dan akan mulai dioperasikan pada awal tahun 2019 didasarkan pada feasibility study yang dilakukan oleh JICA yang memperkirakan penumpang kereta cepat Jakarta-Bandung akan mencapai 44.000 penumpang setiap hari, dengan harga tiket Rp 200.000,-/penumpang maka penerimaan per bulan Rp264 miliar, atau per tahun menjadi Rp3,17 triliun Sehingga dalam jangka 20 tahun sudah dapat melunasi hutang ODB.

Yang menjadi pertanyaan mendasar, apakah penumpang kereta cepat pada tahun 2020 akan mencapai 44.000 per hari? Kondisi saat ini, terdapat 3 jalur yang menghubungkan Jakarta-Bandung, yaitu jalur kereta api, jalur darat dan jalur udara. Dari ketiga jalur tersebut yang paling banyak digunakan adalah jalur darat (melalui tol cipularang) menurut data Jasa Marga tahun 2014 mencapai 1.639.435 penumpang, sedangkan yang menggunakan jalur kereta (Kereta Argo Parahyangan) menurut Dirut KAI hanya sebesar 6.000 penumpang yang berarti tidak mencapai 1% -nya, sedangkan penumpang dengan jalur udara sebanyak 7.500 penumpang menurut data Angkasa Pura II.

Jika diasumsikan semua penumpang jalur udara akan berpindah menggunakan kereta cepat berarti penumpang baru mencapai 13.500, dengan catatan jalur udara Jakarta-Bandung akan mati dan memupus ribuan tenaga kerja. Sedangkan penumpang jalur darat yang menggunakan bis/travel akan serta merta pindah ke kereta cepat? Mengingat harga kereta cepat adalah 2x lipat harga tiket bis/travel Jakrta-Bandung. Maka angka 44.000 penumpang per hari kereta cepat Jakarta-Bandung menurut penulis adalah angka yang sangat ngawang-awang. Dan keberhasilan dari bisnis kereta cepat yang dijalankan konsorsium BUMN ini tergantung pada jumlah penumpang yang akan menggunakannya pada tahun 2020 mendatang, jika penumpang tidak sesuai target maka pembayaran hutang ke ODB pun tidak akan sesuai target, yang akan mengakibatkan aset konsorsium BUMN akan diambilalih oleh ODB. Semoga tidak.


Sumber data dan bahan bacaan :
JICA, Presentasi Studi Kelayakan Proyek Kereta API Cepat Jakarta Bandung Tahap I
http://tinyurl.com/nfxmz7k Menyoal Ribut-ribut Kereta Cepat Jakarta-Bandung Bagian 2 Kompas
http://tinyurl.com/ptjeago Konsorsium BUMN Danai 60 Proyek Kereta Cepat
http://tinyurl.com/ngfsp5p Sofyan Djalil Presiden Telah Ingatkan Soal Manajemen Risiko Kereta Cepat
http://tinyurl.com/nwtsweb Kereta Cepat KAI Targetka 30ribu Penumpang per Hari
http://tinyurl.com/pf8gg5s Kereta Cepat Jakarta-Bandung Laku Ngga Ya
http://tinyurl.com/qexp5jo Ini Awal Jokowi Kepincut Kereta Cepat
http://tinyurl.com/nfhc9ja Aset Perusahaan BUMN Konsorsium akan Disita Jika...
http://tinyurl.com/q3orrff Proyek Kereta Cepat RI-China Resmi Joint Venture Bentuk Perusahaan
http://tinyurl.com/ovmdldd Kereta Cepat di Luar Pulau Jawa
http://tinyurl.com/qevkmky Penumpang Melalui Bandara Husein Sastranegara Capai 10000 Orang per Hari

Pipa sebagai Jawaban Kemandirian Energi

Saya masih ingat tahun 2006 dulu waktu mengikuti pelatihan kimia, diceritai oleh salah seorang dosen kimia ugm -Pak Nur Cahyo- bahwa sebentar lagi minyak tanah akan raib di pasaran, karena akan digunakan sebagai bahan bakar roket yang permintaannya meningkat. Lalu setahun kemudian, benar yang terjadi pemerintah mengeluarkan kebijakan konversi energi minyak tanah menjadi gas. Kebijakan tersebut menjadi sanjungan, karena di samping membagikan kompor dan tabung gas gratis ke masyarakat juga memberikan harapan bahwa gas adalah bahan bakar masa depan yang lebih murah dan mempunyai efisiensi lebih tinggi daripada minyak.

Namun harapan itu semakin pudar, setelah banyak korban berjatuhan akibat tabung bocor atau penggunaan yang tidak sesuai prosesdur. Di samping itu, hal yang tidak bisa ditutup-tutupi adalah harga gas 3kg makin lama merangkak naik, walaupun pemerintah telah menyubsidikannya. Menurut direktur pemasaran pertamina, kebutuhan dalam negeri LPG tahun 2015 mencapai 6,6 juta MT (metric ton), dari angka tersebut yang harus diimpor sebesar 4,4 juta MT atau sebesar 67% karena pasokan dalam negeri hanya mampu menyediakan 2,2 juta MT. Jadi sangat wajar di saat nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar as melemah, harga lpg 3kg di pasaran mencapai 20 ribu rupiah.

Mengapa Indonesia masih mengimpor gas, padahal Indonesia kaya akan cadangan gas?

Sebelumnya kita harus memahami bahwa gas, -sama dengan minyak- juga ada bermacam-macam. Gas yang paling umum dikenali adalah LPG (Liquid Petroleum Gas), LNG (Liquid Natural Gas) dan CNG (Compressed Natural Gas). Pada dasarnya LNG dan CNG adalah gas yang sama yaitu mempunyai komponen utama Methana (CH4), akan tetapi berbeda dalam pengemasannya. Gas LNG dikemas (disimpan) dalam bentuk liquid dengan cara mendinginkannya sampai -150°C dan tekanan 17 bar.g. Sedangkan CNG disimpan dalam bentuk gas yang mempunyai tekanan yang tinggi. Berbeda dengan LNG dan CNG, gas LPG adalah gas yang mempunyai komponen utama Propana (C3H8) dan Butana (C4H10) yang lebih berat daripada Methana sehingga lebih mudah untuk dicarikan. Itulah kenapa gas dalam tabung yang digunakan untuk memasak adalah gas LPG, karena tidak mungkin menggunakan LNG yang harus disimpan dalam suhu -150°C.

Menurut kementrian ESDM, Indonesia mempunyai cadangan gas sebesar 170 TSCF (triliun standard cubic feet) yang konon adalah cadangan gas terbesar ke 2 di Asia.Bahkan saat ini, Indonesia mengekspor 40% gas dari pasokan yang tersedia. Namun, cadangan gas tersebut berupa gas alam (bahan baku LNG & CNG), itulah jawaban mengapa Indonesia saat ini masih mengimpor LPG, karena Indonesia tidak kaya akan gas LPG.

Untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor LPG, apakah LNG/ CNG bisa menggantikan LPG?

Jawabannya adalah pipa, karena LNG/CNG tidak mungkin didistribusikan dengan tabung-tabung kecil, melainkan didistribusikan langsung dengan jaringan pipa. Dari sumber gas yang tersebar di wilayah Indonesia, harus segera dibangun pipa distribusi menuju kota-kota besar dan kawasan industri. Dari pipa distribusi tersebut kemudian ditie-in pipa transmisi yang mengantarkan gas ke dapur-dapur, SPBG, pabrik-pabrik dan pembangkit.

Menurut rencana kementrian ESDM tahun 2010, sampai tahun 2025 Indonesia akan membangun pipa distribusi sepanjang 4.000km yang membentang antara Natuna, Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan Sumatera, belum termasuk pipa transmisi. Masa depan Indonesia adalah pulau-pulau yang dialiri gas dengan pipa yang bercabang-cabang seperti pembuluh darah di dalam tanah. Dengan begitu, Indonesia akan lebih dekat dengan tujuan kemandirian energi, walaupun tentu saja untuk membangun infrastruktur pipa sepanjang itu menelan biaya yang tidak sedikit.

Menjadi Penyair

Ketika diminta untuk mendeskripsikan dirinya dalam satu kata, dengan bangga orang besar bernama W.S. Rendra itu menjawab : penyair. Walaupun ia sangat piawai dan begitu master dalam dunia teater, tetapi ia memilih disebut penyair, ketimbang dramawan atau sastrawan. Mungkin ia menyadari dirinya sebagai apa yang diungkapkan Khalil Ghibran : Penyair adalah Raja tanpa tahta, yang duduk di singgahsana abu, dan mencoba membangun hayalan dari abu itu.

Semua penyair, di belahan bumi manapun ia tinggal, di jaman apapun ia hidup mempunyai satu kesamaan, sebuah kepekaan. Sehingga dengan jiwanya yang sangat halus ia bisa meraba penderitaan, walaupun penderitaan itu tak nampak atau sengaja ditutupi. Dengan jiwanya yang halus itu pula, ia dapat menularkan rasa penderitaan yang dilihatnya dengan medium kata-kata. Kata-kata tak jauh beda dengan cat yang digunakan pelukis untuk melukis sesuai kehendak jiwanya, kata-kata begitu nyata, dapat dibaca, sedangkan peng-rasaan jiwa tak dapat dilihat oleh siapapun, ia ghoib. Kenapa seseorang disebut penyair, karena ia piawai dalam mentransformasikan peng-rasaan jiwanya ke dalam kata-kata. Penyair menciptakan suasana batin, bukan sekadar menumpuk kata-kata indah.

Lalu, bagaimana seseorang menjadi penyair? Bagaimana ia menyandang gelar itu. Tentu W.S. Rendra bukan sekadar mengaku-ngaku sebagai penyair, ia telah diakui sebagai penyair, sastrawan ataupun dramawan, tetapi ia menandaskan diri bahwa ia lebih menghayati diri sebagai penyair, dan tak pernah ada orang yang protes. Produk seorang penyair adalah syair, atau puisi, atau sajak. Syair, puisi, atau sajak adalah sastra murni – begitu Sudjiwo Tedjo memberi istilah -, tak seperti prosa atau naskah pementasan yang merupakan pseudo sastra, atau kalau boleh dikatakan sastra terapan.

Syair, puisi atau sajak adalah bagian dari bahasa, yang juga bahasa adalah bagian dari kebudayaan. Dari jaman ke jaman sastra dan bahasa selalu berkembang, begitu juga dengan “gelar” penyair dialamatkan . Penyair, atau pujangga sudah ada sejak jaman Yunani, bahkan sejak manusia mengenal tulisan. Di Nusantara, punjangga ada sejak jaman kerajaan, di mana dahulu seorang pujangga bergelar Empu yang ditunjuk oleh Kerajaan untuk membuat kisah kejayaan raja-raja. Tentu saja, waktu itu tidak semua orang bisa menulis, para Empu adalah orang-orang yang mempunyai pengetahuan serta kemampuan menulis sehingga mereka disebut pujangga.

Setelah era kerajaan (Hindu-Budha) runtuh di Nusantara digantikan dengan kerajaan-kerajaan Islam, gelar pujangga pun tidak lagi dialamatkan pada mereka yang ditunjuk kerajaan dan menulis kitab-kitab. Karena pengaruh Islam yang kuat, corak syair pun mengikuti gaya timur tengah, di mana seorang pujangga adalah mereka yang menulis hikayat-hikayat, syair serta gurindam. Setelah penjajah dari barat masuk ke nusantara, corak sastra-pun berkembang lagi mendapat pengaruh dari barat, di mana karya-karya sastra lebih bebas tidak terikat oleh pakem-pakem. Pada masa ini siapapun dapat menyandang gelar pujangga, selama ia mempunyai karya sastra berupa prosa atau puisi.

Setelah itu, pada masa-masa perang kemerdekaan, gelar pujangga atau penyair lebih dialamatkan kepada mereka yang mempunyai keberanian untuk melawan, tentu saja melalui karaya-karyanya. Dengan ini, menulis puisi atau prosa saja tidak cukup untuk seseorang menyandang gelar penyair. Begitu terus berlangsung sampai jaman orde baru dan reformasi, gelar penyair tidak bisa dilepaskan dari semangat perlawan atau paling tidak keintelektualan dalam karya-karya mereka yang bertema sosial-politik.

Lalu, sekarang sudah masuk era cybersasta, siapa mereka yang dapat menyandang gelar sebagai penyair?

Sejak reformasi, orang-orang sudah tak kagum lagi dengan pembacaan puisi dan sajak-sajak perlawanan terhadap kekuasaan. Pembacaan puisi, dengan teriakan parau dan kata-kata menentang, sudah tak dilarang. Oleh karena itu, tak cukup menyandangi gelar penyair pada mereka yang suka menulis puisi, dan membacakannya di café-café. Di era cyber ini, puisi bertebar di mana-mana, tercecer di media sosial atau blog-blog pribadi.

Dari jaman ke jaman, penyair adalah gelar yang disematkan, gelar yang diberikan oleh orang-orang yang mengakuinya sebagai penyair. Sekarang, jika saya rajin menulis puisi dan memostingkannya pada blog pribadi saya, apakah lantas orang-orang akan mengakui saya sebagai penyair? Jawabannya tidak.

Dunia kepenyairan modern mempunyai ruangnya sendiri, ia mempunyai standar-standar pengakuan tersendiri. Adapun penyair-penyair yang mempunyai pengakuan di luar kepenyairan, seperti masyarakat umum, adalah berkat karya-karyanya ataupun perbuatannya yang mencuri perhatian banyak orang. Tetapi pada jaman cybersastra ini, sulit sekali mencuri perhatian masyarakat umum dengan karya maupun pembacaan puisi. Alhasil, mereka yang disebut penyair terisolasi di ruangnya sendiri.

Akhirnya, jika ingin mendapat gelar pengakuan sebagai “penyair”, kita harus masuk ke dalam ruang kepenyairan, dengan bergabung komunitas-komunitas sastra, rajin membaca buku-buku sastra, bergaul dengan orang-orang sastra, dan tentunya mengirim puisi di rubrik-rubrik puisi majalah sastra.

Atau pilihan lainnya, menjadi penyair yang tak butuh pengakuan dari siapapun, kecuali perempuan yang kita rayu-rayu. Toh, seperti pahlawan, ini hanyalah soal pengakuan, ia berguna bagi siapa.

Islam Nusantara dan Janji Sabdo Palon

Nampaknya PB NU agak terburu-buru dalam melontarkan istilah "Islam Nusantara" sebagai tema Muktamar NU yang ke-33 di Jombang, Jawa Timur. Karena, sebutan itu menimbulkan berbagai macam penafsiran di tengah masyarakat khususnya kalangan intelektual, sedangkan PB NU sendiri belum memberikan definisi yang tuntas terhadap istilah tersebut. Tetapi boleh jadi PB NU (melalui Ketua Umum, Said Aqil Siradj) sengaja melontarkan istilah tersebut untuk memancing berbagai tanggapan dari masyarakat sebelum konsep Islam Nusantara tersebut diterapkan ke dalam Muktamar. Sebagai anggota masyarakat, kiranya ijinkan saya ikut mengomentari istilah konsep Islam Nusantara :

Setelah Majapahit diobrak-abrik oleh pasukan Demak, Prabhu Brawijaya berhasil meloloskan diri bersama segenap rombongan ke arah timur ingin menuju Bali, namun masih tertahan di Banyuwangi. Raden Patah, sebagai Raja Demak yang juga putra selir Prabhu Brawijaya merasa bersalah telah durhaka pada ayahnya sendiri, lantas ia mengutus Sunan Kalijaga untuk membawa Prabhu Brawijaya kembali ke Trowulan. Pada saat bertemu dengan Prabhu Brawijaya di Banyuwangi itulah, Sunan Kalijaga menawarkan kepadanya untuk memeluk agama Islam yang kemudian membuat dua abdi sang raja bersumpah, adalah Sabdo Palon dengan Noyo Genggong, bahwa mereka tidak sudi mengikuti rajanya memeluk agama Islam, dan akan kembali 500 tahun kemudian untuk membawa agama baru. Setelah melakukan sumpah, lantas mereka berdua moksa.

Cerita tentang Sabdo Palon - Noyo Genggong besertan dengan sumpahnya itu ditulis dalam Serat Sabdo Palon yang berbentuk tembang macapat. Dari cerita dalam serat tersebut lantas timbul jarak antara Jawa dan Islam, di mana Islam dianggap sebagai agama pendatang di Nusantara, dan esok ketika sudah 500 tahun sejak Sabdo Palon moksa, mereka akan kembali membawa "agama baru". Sekarang sudah saatnya 500 tahun yang "ditunggu-tunggu" itu, di antara para penganut kejawen dipercaya Sabdo Palon sudah muncul sejak tahun 90-an, dan terus berpindah dari satu tubuh ke tubuh yang lain, namun ia masih belum mau menampakkan diri di depan publik.

Lalu apa hubungannya dengan Islam Nusantara? Sejak Serat Sabdo Palon muncul (yang masih diperdebatkan apakah serat tersebut berdasarkan fakta sejarah atau "hanya" karya sastra belaka), banyak penafsiran mengenai serat tersebut untuk mengeklaim agama baru yang akan menggantikan Islam. Pertama, tafsir agama baru yang akan menggantikan Islam di tanah jawa (Nusantara) adalah aliran kebatian yang meliputi kejawen, sunda wiwitan, dan lain-lain. Tentu penafsiran itu muncul dari para penganut aliran kebatinan yang percaya bahwa yang dimaksud oleh Sabdo Palon, agama baru tersebut adalah mereka. Ke dua, dalam serat Darmo Gandul yang ditulis pada abad 20 saat Nusantara sedang dijajah secara harta maupun agama oleh Barat (Belanda), diisyaratkan dalam kitab tersebut bahwa agama baru yang akan menggantikan Islam adalah Kristen. Tentunya anggapan tersebut tidak lepas dari pengaruh penjajah, yang mencoba menarik para penduduk Nusantara untuk memeluk agama Kristen melalui serat tersebut. Ke tiga, secara tekstual memang disebutkan bahwa agama baru yang akan disebarkan oleh Sabdo Palon adalah agama Budha, -jika Sudjiwo Tedjo menafsirkannya sebagai agama budi-.

Apakah Islam Nusantara berusaha menawarkan diri sebagai "agama baru", dengan simbol-simbol ke-nusantara-an, serta menjauhkan Islam dari kesan sebagai agama pendatang. Semangat yang mungkin muncul lantaran dewasa ini apalagi pasca reformasi masif terjadi islamisasi yang dibarengi dengan semangat arabisasi. Apakah Islam Nusantara ingin membersihkan nama Islam yang dulu menaklukkan Pulau Jawa (Majapahit) dengan peperangan? Sehingga Sabdo Palon sampai harus bersumpah sedemikian.

Semua itu masih sebatas pertanyaan apakah, bisa ya, bisa juga tidak. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan penting, apakah PB NU (sebagai pelontar Islam Nusantara) akan memberikan pengertian yang tuntas dengan batas-batas yang terlihat tidak hanya secara konsep namun dalam keputusan fatwa-fatwanya. Kita tunggu saja.

Apalah Puasaku Dibanding Puasanya Mbah-mbahku Dulu

Pernahkah dengar ada orang berjualan sate gagak? Ada cerita, sekelompok temannya teman saya berjualan sate gagak di pedalaman tempat wingit di daerah Kulon Progo, Yogyakarta. Dengan dagangan yang anti-mainstream tersebut, tentunya pelanggannya juga anti-mainstream, yaitu genderuwo. Berawal dari niat iseng untuk menguji ilmu ghoib, mereka (temannya teman saya) berjualan sate gagak pada malam hari di tempat yang wingit (angker). Selama berjualan, konon mereka menyaksikan genderuwo-genderuwo sudah mengantri panjang untuk menikmati sate gagak yang mereka jual, tentunya para genderuwo tersebut membawa uang kertas rupiah sebagai alat tukar, yang kemudian diketahui itu sebenarnya adalah daun jambu.

Namun, saya tidak akan fokus pada cerita tentang genderuwo tersebut, melainkan bagaimana masuk akal manusia berjualan sate kepada makhluk halus seperti genderuwo, mungkin sebagian orang akan menganggap cerita ini hanya isapan jempol. Tetapi sebelum memutuskan untuk tidak percaya cerita tersebut, perlu diketahui bahwa mereka (penjual sate gagak) terlebih dahulu melakukan ritual jauh-jauh hari sebelum berjualan. Salah satunya adalah melakukan puasa mutih selama 7 hari 7 malam, tidak boleh berhubungan badan, tidak boleh mandi dan pada saat berjualan mereka tidak boleh mengenakan pakaian sehelai benang-pun. Dengan begitu, mereka bisa masuk ke dalam dunia lain di mana mereka bisa berinteraksi dengan genderuwo.

Bagi para pelaku ilmu ghoib (atau apapun sebutannya), puasa adalah hal dasar, syarat utama dalam setiap laku untuk memperoleh sesuatu, entah itu ilmu kanuragan, terawangan, pusaka, wangsit dan lain-lain. Karena dengan puasa, manusia telah -seolah-olah- mati di dalam hidup (mati sajroning urip) dengan menghentikan aktivitas nafsu jasad, sehingga kesadaran terhadap ruh-nya menjadi peka, dan sebagainya, dan sebagainya. Maka, tidak menjadi hal yang mustahil apabila manusia dengan berbagai laku yang telah dijalaninya bisa masuk ke dalam dunia lain (dunia ghoib, dunia ruh, dunia lelembut, dll).

Sebelum memperoleh wahyu ajaran Nabi Muhammad SAW, para leluhur kita telah mengenal dan menjalani berbagai macam puasa, tidak sekadar menahan makan minum dari subuh sampai maghrib. Berikut saya uraikan yang saya tahu :

Puasa Mutih
Mungkin puasa ini sudah cukup terkenal di kalangan masyarakat, bahkan teman saya yang Katholik diwajibkan menjalani puasa ini pada saat pra-paskah. Puasa ini dilakukan dengan menahan nafsu (makan, minum, berhubungan badan) kecuali makan sesuatu yang berwarna putih dan tidak berasa (seperti nasi, singkong, dll) serta minum air putih. Puasa mutih di kalangan kejawen dimulai dari petang hingga petang.

Puasa Ngebleng
Sesuai dengan namanya, puasa ngebleng dilakukan sehari semalam dengan tidak boleh makan dan minum apapaun. Selain itu dalam menjalani puasa ngebleng juga harus disertai laku tirakat atau berdiam diri. Biasanya puasa ngebleng dilakukan sebagai penutup suatu ritual.

Puasa Pati Geni
Puasa ini lebih berat dari puasa ngebleng, seseorang yang puasa pati geni tidak boleh melihat cahaya apapun alias di dalam ruang tertutup, seperti di kamar, gua, atau tempat-tempat persemadian, juga tidak diperbolehkan keluar ruangan.

Puasa Ngrowot
Puasa ngrowot hampir sama dengan puasa ramadhan, akan tetapi untuk sahur dan berbuka hanya diperbolehkan makan buah satu jenis.

Puasa Ngidang
Sesuai namanya "ngidang" berarti menjadi kidang (menjadi kijang), puasa yang hanya membolehkan makan sayur-sayuran mentah dan ari putih saja sebagaimana kijang.

Puasa Ngepel
Sesuai namanya, puasa ngepel dilakukan dengan cara hanya boleh memakan nasi sekepel (satu kepal) saja dalam sehari.

Puasa Ngalong
Puasa ini juga disebut puasa sungsang, yaitu berpuasa sambil bertapa dengan cara menggantung kakinya di atas sedangkan kepala di bawah.

Puasa-puasa di atas telah banyak dan lazim dilakukan oleh mbah-mbah kita jaman dulu. Dengan beratnya puasa-puasa tersebut, saya jadi berpikir apalah puasa saya ini dibanding puasa mbah-mbah saya di atas.

Namun ternyata saya menemukan paradoks, bahwasannya puasa yang dilakukan oleh mbah-mbah saya dahulu itu tentu untuk tujuan tertentu, seperti misalnya yang telah saya contohkan di depan, puasa untuk berjualan sate gagak untuk genderuwo, puasa untuk menjadi kebal, puasa untuk bisa menerawang, puasa untuk mendapatkan puasa, dan sebagainya.

Sedangkan puasa yang sedang saya jalani saat ini, tidak akan akan membuat saya menjadi kebal atau mendapatkan pusaka, melainkan semata-mata hanya karena Allah ta'ala. Oleh karena itu, saya merasa tidak kalah hebat dengan mbah-mbah saya yang puasa berat akan tetapi menginginkan sesuatu dari puasa tersebut, sedangkan saya berpuasa tidak menginginkan apapun kecuali dianggap menjadi orang yang bertaqwa oleh Allah SWT.

Wallahu'alam bishawab.

Cawang, 24 Juni 2015

Puasa dan Puisi

Emha Ainun Nadjib pernah menguraikan tentang kehidupan puisi dalam sebuah tulisannya. Ia mencontoh dan mencontohkan kehidupan puisi dari sang guru, presiden malioboro yang telah menjalani laku hidup yang disebutnya sebagai kehidupan puisi. Saya memahami kehidupan puisi yang telah diuraikan tersebut sebagai puasa, hidup yang berpuasa sepanjang bulan dan tahun dari gemerlapnya dunia.

Puisi sendiri dalam beragam makna diartikan sebagai rasa dan suasana batin yang tercipta dalam bentuk kata-kata. Penyair mengekstrak batinnya menjadi serat halus kata-kata sehingga pembaca dapat merasakan dan tersuasana apa yang dibatin oleh penyair. Saya bukan ahli agama, tetapi saya pernah dengar ceramah bahwa puasa adalah penyembahan atau ibadah yang khusus hanya untuk allah. Puasa tak seperti sholat dan zakat, yang ibadah tersebut menyangkut kebutuhan diri sendiri dan orang lain, tetapi puasa adalah ibadah khusus untuk allah. -Hadist nya diriwayatkan oleh Abu Hurairah-. Di sinilah puasa menyerupai puisi, puasa adalah suasana batin dan rasa yang didalamnya ada karsa yang ditujukan khusus hanya untuk sang pencipta.

Dahulu orang-orang "linuwih", empu dan para raja sudah melakukan puasa jauh sebelum ada bulan puasa, tentu saja tujuannya untuk berkomunikasi secara langsung dengan sang pencipta, karena sang pencipta yang maha suci dan maha halus tidak dapat di"sapa" dengan kekotoran duniawi. Sama hal-nya ketika kita membaca puisi yang tidak berasal dari batin dan keutuhan rasa, walaupun puisi tersebut tersusun dengan kata-kata dan rima yang apik, puisi tersebut akan sulit untuk dipahami dan masuk ke rasa. Dunia puisi adalah dunia batin dan suasana rasa, begitu pula dengan puasa.

Konon presiden ke-2 RI, Soeharto, sebelum menjadi jendral dan muncul sebagai presiden terkuat yang bertahta 32 tahun, ia telah melakukan laku prihatin yang salah satunya adalah puasa daud yang ia jalani selama bertahun -tahun. Berpuasa dan berpuisi sama-sama mempunyai makna mengasingkan diri. Sebuah karya puisi yang indah ditulis oleh penyair yang merenung dan menyepi sehingga ia bisa melihat "kahanan", begitu juga dengan berpuasa. Orang yang benar-benar berpuasa (atau semadi) akan melihat "kasunyatan".

Akhirnya saya memahami bahwa kehidupan puisi yang diuraikan oleh Emha Ainun Nadjib adalah kehidupan puasa. Saya menerka bahwa orang-orang beriman diperintahkan langsung oleh allah untuk berpuasa selama sebulan penuh supaya mencapai kehidupan puisi, atau kehidupan puasa. Puasa pada bulan ramadhan adalah semudah-mudahnya puasa, karena dalam fiqih hanya tiga yang membatalkan puasa yakni makan, minum dan berhubungan badan, yang merupakan nafsu dasar manusia, sedangkan nafsu turunan-nya sangat banyak sekali. Oleh karena itu saya memahami, tidak ada yang dapat saya banggakan ketika bisa melewati bulan puasa ini dengan tidak makan dan minum sebulan penuh, karena puasa yang sesungguhnya adalah puasa dalam kehidupan sehingga mencapai kehidupan puisi.

Wallahu A'lam Bishawab

Cawang, 20 Juni 2015

Diberdayakan oleh Blogger.

Followers