Islam Nusantara dan Janji Sabdo Palon

by

Nampaknya PB NU agak terburu-buru dalam melontarkan istilah "Islam Nusantara" sebagai tema Muktamar NU yang ke-33 di Jombang, Jawa Timur. Karena, sebutan itu menimbulkan berbagai macam penafsiran di tengah masyarakat khususnya kalangan intelektual, sedangkan PB NU sendiri belum memberikan definisi yang tuntas terhadap istilah tersebut. Tetapi boleh jadi PB NU (melalui Ketua Umum, Said Aqil Siradj) sengaja melontarkan istilah tersebut untuk memancing berbagai tanggapan dari masyarakat sebelum konsep Islam Nusantara tersebut diterapkan ke dalam Muktamar. Sebagai anggota masyarakat, kiranya ijinkan saya ikut mengomentari istilah konsep Islam Nusantara :

Setelah Majapahit diobrak-abrik oleh pasukan Demak, Prabhu Brawijaya berhasil meloloskan diri bersama segenap rombongan ke arah timur ingin menuju Bali, namun masih tertahan di Banyuwangi. Raden Patah, sebagai Raja Demak yang juga putra selir Prabhu Brawijaya merasa bersalah telah durhaka pada ayahnya sendiri, lantas ia mengutus Sunan Kalijaga untuk membawa Prabhu Brawijaya kembali ke Trowulan. Pada saat bertemu dengan Prabhu Brawijaya di Banyuwangi itulah, Sunan Kalijaga menawarkan kepadanya untuk memeluk agama Islam yang kemudian membuat dua abdi sang raja bersumpah, adalah Sabdo Palon dengan Noyo Genggong, bahwa mereka tidak sudi mengikuti rajanya memeluk agama Islam, dan akan kembali 500 tahun kemudian untuk membawa agama baru. Setelah melakukan sumpah, lantas mereka berdua moksa.

Cerita tentang Sabdo Palon - Noyo Genggong besertan dengan sumpahnya itu ditulis dalam Serat Sabdo Palon yang berbentuk tembang macapat. Dari cerita dalam serat tersebut lantas timbul jarak antara Jawa dan Islam, di mana Islam dianggap sebagai agama pendatang di Nusantara, dan esok ketika sudah 500 tahun sejak Sabdo Palon moksa, mereka akan kembali membawa "agama baru". Sekarang sudah saatnya 500 tahun yang "ditunggu-tunggu" itu, di antara para penganut kejawen dipercaya Sabdo Palon sudah muncul sejak tahun 90-an, dan terus berpindah dari satu tubuh ke tubuh yang lain, namun ia masih belum mau menampakkan diri di depan publik.

Lalu apa hubungannya dengan Islam Nusantara? Sejak Serat Sabdo Palon muncul (yang masih diperdebatkan apakah serat tersebut berdasarkan fakta sejarah atau "hanya" karya sastra belaka), banyak penafsiran mengenai serat tersebut untuk mengeklaim agama baru yang akan menggantikan Islam. Pertama, tafsir agama baru yang akan menggantikan Islam di tanah jawa (Nusantara) adalah aliran kebatian yang meliputi kejawen, sunda wiwitan, dan lain-lain. Tentu penafsiran itu muncul dari para penganut aliran kebatinan yang percaya bahwa yang dimaksud oleh Sabdo Palon, agama baru tersebut adalah mereka. Ke dua, dalam serat Darmo Gandul yang ditulis pada abad 20 saat Nusantara sedang dijajah secara harta maupun agama oleh Barat (Belanda), diisyaratkan dalam kitab tersebut bahwa agama baru yang akan menggantikan Islam adalah Kristen. Tentunya anggapan tersebut tidak lepas dari pengaruh penjajah, yang mencoba menarik para penduduk Nusantara untuk memeluk agama Kristen melalui serat tersebut. Ke tiga, secara tekstual memang disebutkan bahwa agama baru yang akan disebarkan oleh Sabdo Palon adalah agama Budha, -jika Sudjiwo Tedjo menafsirkannya sebagai agama budi-.

Apakah Islam Nusantara berusaha menawarkan diri sebagai "agama baru", dengan simbol-simbol ke-nusantara-an, serta menjauhkan Islam dari kesan sebagai agama pendatang. Semangat yang mungkin muncul lantaran dewasa ini apalagi pasca reformasi masif terjadi islamisasi yang dibarengi dengan semangat arabisasi. Apakah Islam Nusantara ingin membersihkan nama Islam yang dulu menaklukkan Pulau Jawa (Majapahit) dengan peperangan? Sehingga Sabdo Palon sampai harus bersumpah sedemikian.

Semua itu masih sebatas pertanyaan apakah, bisa ya, bisa juga tidak. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan penting, apakah PB NU (sebagai pelontar Islam Nusantara) akan memberikan pengertian yang tuntas dengan batas-batas yang terlihat tidak hanya secara konsep namun dalam keputusan fatwa-fatwanya. Kita tunggu saja.