Apalah Puasaku Dibanding Puasanya Mbah-mbahku Dulu

by

Pernahkah dengar ada orang berjualan sate gagak? Ada cerita, sekelompok temannya teman saya berjualan sate gagak di pedalaman tempat wingit di daerah Kulon Progo, Yogyakarta. Dengan dagangan yang anti-mainstream tersebut, tentunya pelanggannya juga anti-mainstream, yaitu genderuwo. Berawal dari niat iseng untuk menguji ilmu ghoib, mereka (temannya teman saya) berjualan sate gagak pada malam hari di tempat yang wingit (angker). Selama berjualan, konon mereka menyaksikan genderuwo-genderuwo sudah mengantri panjang untuk menikmati sate gagak yang mereka jual, tentunya para genderuwo tersebut membawa uang kertas rupiah sebagai alat tukar, yang kemudian diketahui itu sebenarnya adalah daun jambu.

Namun, saya tidak akan fokus pada cerita tentang genderuwo tersebut, melainkan bagaimana masuk akal manusia berjualan sate kepada makhluk halus seperti genderuwo, mungkin sebagian orang akan menganggap cerita ini hanya isapan jempol. Tetapi sebelum memutuskan untuk tidak percaya cerita tersebut, perlu diketahui bahwa mereka (penjual sate gagak) terlebih dahulu melakukan ritual jauh-jauh hari sebelum berjualan. Salah satunya adalah melakukan puasa mutih selama 7 hari 7 malam, tidak boleh berhubungan badan, tidak boleh mandi dan pada saat berjualan mereka tidak boleh mengenakan pakaian sehelai benang-pun. Dengan begitu, mereka bisa masuk ke dalam dunia lain di mana mereka bisa berinteraksi dengan genderuwo.

Bagi para pelaku ilmu ghoib (atau apapun sebutannya), puasa adalah hal dasar, syarat utama dalam setiap laku untuk memperoleh sesuatu, entah itu ilmu kanuragan, terawangan, pusaka, wangsit dan lain-lain. Karena dengan puasa, manusia telah -seolah-olah- mati di dalam hidup (mati sajroning urip) dengan menghentikan aktivitas nafsu jasad, sehingga kesadaran terhadap ruh-nya menjadi peka, dan sebagainya, dan sebagainya. Maka, tidak menjadi hal yang mustahil apabila manusia dengan berbagai laku yang telah dijalaninya bisa masuk ke dalam dunia lain (dunia ghoib, dunia ruh, dunia lelembut, dll).

Sebelum memperoleh wahyu ajaran Nabi Muhammad SAW, para leluhur kita telah mengenal dan menjalani berbagai macam puasa, tidak sekadar menahan makan minum dari subuh sampai maghrib. Berikut saya uraikan yang saya tahu :

Puasa Mutih
Mungkin puasa ini sudah cukup terkenal di kalangan masyarakat, bahkan teman saya yang Katholik diwajibkan menjalani puasa ini pada saat pra-paskah. Puasa ini dilakukan dengan menahan nafsu (makan, minum, berhubungan badan) kecuali makan sesuatu yang berwarna putih dan tidak berasa (seperti nasi, singkong, dll) serta minum air putih. Puasa mutih di kalangan kejawen dimulai dari petang hingga petang.

Puasa Ngebleng
Sesuai dengan namanya, puasa ngebleng dilakukan sehari semalam dengan tidak boleh makan dan minum apapaun. Selain itu dalam menjalani puasa ngebleng juga harus disertai laku tirakat atau berdiam diri. Biasanya puasa ngebleng dilakukan sebagai penutup suatu ritual.

Puasa Pati Geni
Puasa ini lebih berat dari puasa ngebleng, seseorang yang puasa pati geni tidak boleh melihat cahaya apapun alias di dalam ruang tertutup, seperti di kamar, gua, atau tempat-tempat persemadian, juga tidak diperbolehkan keluar ruangan.

Puasa Ngrowot
Puasa ngrowot hampir sama dengan puasa ramadhan, akan tetapi untuk sahur dan berbuka hanya diperbolehkan makan buah satu jenis.

Puasa Ngidang
Sesuai namanya "ngidang" berarti menjadi kidang (menjadi kijang), puasa yang hanya membolehkan makan sayur-sayuran mentah dan ari putih saja sebagaimana kijang.

Puasa Ngepel
Sesuai namanya, puasa ngepel dilakukan dengan cara hanya boleh memakan nasi sekepel (satu kepal) saja dalam sehari.

Puasa Ngalong
Puasa ini juga disebut puasa sungsang, yaitu berpuasa sambil bertapa dengan cara menggantung kakinya di atas sedangkan kepala di bawah.

Puasa-puasa di atas telah banyak dan lazim dilakukan oleh mbah-mbah kita jaman dulu. Dengan beratnya puasa-puasa tersebut, saya jadi berpikir apalah puasa saya ini dibanding puasa mbah-mbah saya di atas.

Namun ternyata saya menemukan paradoks, bahwasannya puasa yang dilakukan oleh mbah-mbah saya dahulu itu tentu untuk tujuan tertentu, seperti misalnya yang telah saya contohkan di depan, puasa untuk berjualan sate gagak untuk genderuwo, puasa untuk menjadi kebal, puasa untuk bisa menerawang, puasa untuk mendapatkan puasa, dan sebagainya.

Sedangkan puasa yang sedang saya jalani saat ini, tidak akan akan membuat saya menjadi kebal atau mendapatkan pusaka, melainkan semata-mata hanya karena Allah ta'ala. Oleh karena itu, saya merasa tidak kalah hebat dengan mbah-mbah saya yang puasa berat akan tetapi menginginkan sesuatu dari puasa tersebut, sedangkan saya berpuasa tidak menginginkan apapun kecuali dianggap menjadi orang yang bertaqwa oleh Allah SWT.

Wallahu'alam bishawab.

Cawang, 24 Juni 2015