Hari Buruh #1 : “Seharusnya Buruh Menggelar Syukuran”

by

Setiap pagi pukul 06.00 di sepanjang jalanan Badami exit tol menuju Kota Karawang berjajar buruh-buruh pabrik dengan seragam warna-warni. Mereka sedang menunggu bus jemputan karyawan yang akan membawa mereka ke pabrik, bekerja sepanjang hari sampai hari menjelang gelap kemudian mereka diantar pulang dengan bus yang sama ke tempat tinggal mereka. Tetapi roda produksi tidak berhenti sampai di situ, buruh-buruh yang lain, yang mendapat jam kerja pada shift 2 telah menanti di sepanjang jalan untuk dijemput menuju pabrik, menggantikan buruh-buruh yang telah capek seharian bekerja dari pagi hingga sore. Begitulah mesin industri bekerja 24 jam setiap hari, tak henti-hentinya mengolah komoditas untuk mendapat untung sebesar-besarnya.

Kita adalah generasi yag lahir pada jaman gegap-gempita di mana kapitalisme telah menguasai seluruh aspek dan lini kehidupan.  Sejarah mencatat setidaknya kemenangan kapitalisme ditandai oleh runtuhnya tembok Berlin, kemengan sekutu pada perang dunia II dan pecahnya Uni Sovyet menjadi beberapa negara.

Karl Marx telah mengamati dan memprediksi hal-hal tersebut, pemikirannya lahir dari kesadaran akan kesenjangan kelas sosial antara proletar dan borjuis. Dalam sistem kapitalis, borjuis adalah mereka yang menguasai alat produksi, sedangkan proletar adalah kaum yang tidak menguasai alat produksi dan harus bergantung pada alat produksi yang dikuasai borjuis. Dalam hal ini, buruh sebagai kelas proletar digunakan sebagai ‘penopang’ alat produksi untuk meningkatkan nilai guna suatu komoditas.

Tetapi ada yang menarik dari pernyataan seorang Dedi Mulyadi, Bupati Purwakarta, menjelang peringatan May Day, ia memperingatkan kepada para buruh untuk tidak berdemo, justru menyarankan untuk menggelar syukuran, karena upah yang diterima buruh saat ini sudah cukup besar –seperti diberitakan di beberapa media nasional. Dan hal itu disambut dengan kata sepakat oleh Ketua SPSI Purwakarta, Agus Gunawan mengatakan “May Day itu berkah dari perjuangan yang selama ini diperjuangkan buruh, jadi harus disyukuri dan dinikmati”.

Ini adalah tanda kemenangan telak kaum borjuis, kapitalisme dengan industri-nya telah berhasil memacak diri sebagai dewa pemberi rejeki di mana banyak orang bergantung darinya. Kapitalis telah memanjakan buruh dengan upah yang cukup, bus yang menjemput dan mengantar mereka, makanan yang enak dan bergizi serta snack dan susu di setiap jam 10 pagi. Di luar itu, kapitalis juga telah memamerkan bahwa dirinya peduli terhadap kondisi lingkungan dengan menyalurkan CSR untuk pendidikan, pengobatan gratis, menanam pohon sampai donor darah.

Buruh tidak akan macam-macam, organisasi buruh diberikan kantor sekeretariat yang layak dengan meja kursi yang bagus dan pendingin ruangan, pengurus organisasi diberikan gaji oleh perusahaan. Kapitalis juga membiarkan adanya demonstrasi, buruh boleh berunjuk rasa, asalkan tertib, tidak merusak, tidak memblokir jalan, setelah itu buruh bisa membubarkan diri beristirahat menyiapkan badan untuk bekerja kembali.

Buruh pabrik di kota-kota besar mempunyai upah rata-rata 3 juta per bulan dengan uang lembur, bahkan di beberapa daerah seperti di Karawang, buruh bisa mengantongi uang 5 juta per bulan. Di dalam masyarakat kapitalis yang mengandalkan uang, buruh sudah tidak minder lagi dengan tetangganya yang bekerja sebagai PNS. Secara ekonomi mereka telah berada di dalam kelas sosial yang sama.

Menurut Marx, kondisi buruh-buruh di pabrik saat ini telah mencapai pada tingkat kesadaran palsu, di mana pabrik-pabrik adalah tempat memberi rejeki, lalu mereka akan mendoakan supaya pabrik-pabrik tersebut semakin besar dan dapat memberikan kesejahteraan pada mereka.  Lalu benarkah bahwa kesadaran asli yang terjadi adalah pendindasan kapitalis terhadap kaum buruh? Saya tidak mau membahas, biarlah dibahas oleh Marxist.

Saya hanya ingin menekan-kan, bahwa di luar cerita manis tentang buruh dan kesejahteraannya di atas, kita sering luput bahwa di luar sana masih banyak buruh-buruh yang bekerja pada sektor informal. Mereka yang menjadi pelayan di warung makan, kernet angkot, buruh cuci di kios loundry, tukang masak di dapur catering, penjaga kios butik dan masih banyak lagi profesi sebagi buruh yang menerima upah jauh di bawah UMR. Yang sering memilukan hati adalah melihat mereka masih berusia sangat muda, namun harus menghabiskan masa mudanya untuk bekerja di tempat yang tidak membuat mereka berkembang. Mereka adalah yang sebenar-benarnya harus diperjuangkan oleh pemerintah baik secara regulasi maupun sistem. Dengan fenomena tersebut, sepertinya harus ada pemikiran yang lebih kompleks lagi untuk menciptakan tatanan sosial yang jauh dari kesenjangan.

Cawang, 1 Mei 2015