Per-empu-an

by

Lagi-lagi saya ingin bercerita masa-masa di Yogya. Selama tiga tahun saya tinggal di asrama pinggir Kali Code, tepatnya di Kampung Cokrokusuman belakang Hotel Santika. Selama di asrama itu saya mendapat banyak sekali pelajaran, pelajaran apapun baik dari dalam asrama maupun lingkungan asrama. Salah satunya yang paling saya ingat adalah pelajaran dari Pak Moko, seorang pemilik warung makan angkringan tak jauh dari asrama.

Seperti biasa, sehabis sembahyang maghrib kami mampir untuk makan di tempat Pak Moko, dengan nasi campur teri lauk gorengan dan minum es teh cukup Rp 5000,- perut sudah kenyang. Mulailah Pak Moko memberikan tausyiah. Waktu itu bahasannya adalah tentang perempuan. Beliau mulai menjabarkan arti masing-masing kata wadon, wanita dan perempuan secara harfiah. Tentu penjelasan tersebut tidak memakai teori-teori asal-usul bahasa yang ndangkik-ndangkik, melainkan pesan yang sudah tutur-tinular berada di masyarakat.

Wadon, wanita dan perempuan adalah tingkatan derajat martabat seorang makhluk hawa. Wadon dalam bahasa Jawa berasal dari kata ‘adu’, sama persis menjadi kata serapan Bahasa Indonesia ‘adu-an’. Wadon adalah derajat terendah dari kaum hawa, di mana kaum hawa hanya digunakan sebagai tempat adu yang bisa berarti suruhan, tempat membuang emosi, dan lain sebagianya. Di situ kaum hawa hanya digunakan sebagai obyek oleh kaum adam, baik hanya untuk dimaki-maki, disuruh atau hanya digunakan sebagai boneka pemuas syahwat.

Yang ke dua adalah ‘wanita’, yang merupakan akronim dari ‘wani ditata’ yang berarti berani diatur. Di sini lah kaum hawa mulai diakui keberadaanya, tidak hanya digunakan sebagai obyek oleh kaum adam. Pada tataran ini, kaum hawa diperlakukan lebih dari hanya sekadar obyek, namun juga memperoleh pengakuan ketika kaum hawa tersebut bisa untuk diatur, tidak sekadar diperintah.

Yang terakhir adalah perempuan, yang berasal dari kata empu. Empu adalah seorang pemimpin sepiritual dalam agama Hindu, namun dalam perkembangannya sebutan Empu digunakan untuk menyebut orang yang ahli dalam bidang tertentu seperti pengobatan, sastra, seni, filsafat , dan lebih sempitnya lagi empu adalah sebutan untuk seseorang yang ahli membuat senjata (keris).

Kenapa kaum hawa disebut Empu sebagai penghormatan tertinggi atas dirinya? Karena kaum hawa adalah satu-satunya makhluk yang mempunyai tempat untuk membikin kehidupan, yaitu rahim. Betapa cantiknya waria-waria Thailand setelah melakukan operasi plastik dan suntik silikon untuk menumbuhkan payudara hingga hampir persis menyerupai kaum hawa, tetapi dengan cara apapun mereka tidak bisa membikin rahim, rahim hanyalah diciptakan dan dititipkan kepada kaum hawa. Itulah makna perempuan, yang berarti makhluk hawa diciptakan sebagai tempat penciptaan kehidupan.

Begitu tingginya masayarakat nusantara dalam menjunjung kaum hawa dengan sebutan per-empu-an. Begitu juga dengan sebutan ‘ibu pertiwi’, ‘ibu kota’ dan lain sebagainya. Di berbagai daerah, di desa-desa kita saksikan ibu-ibu telah berusia lanjut dengan memakai jarik dan kebaya bertelanjang kaki berpanas-panas, dan berlumpur-lumpur di kubangan sawah untuk menanam padi. Menanam padi, di daerah manapun selalu dilakukan oleh kaum hawa. Begitu juga dengan perkebunan sayuran di lereng Merbabu, Dieng dan hampir semua perkebunanan pegunungan di nusantara digarap oleh kaum hawa. Itulah realita kondisi kaum hawa kelas petani di nusantara, berbeda lagi dengan kaum hawa kelas priyayi, mereka banyak mengatur bisnis keluarga, menjalankan usaha, mengatur keuangan dan lain sebagainya, di tengah suaminya menjalankan tugas sebagai pejabat dan ‘hanya’ menjadi simbol keluarga.

“Lalu jangan ajari ibuku soal emansipasi!”

Gagasan feminisme berasal dari barat yang muncul dari kegundahan kaum hawa di barat, yang dalam kenyataan Barat jauh lebih patriarkis daripada Jawa. Jauh lebih parah dari kepatriarkian, dalam sejarahnya di barat perempuan pernah dianggap sebagai makhluk yang tak berjiwa, dilarang untuk berbicara, makan daging dan sebagainya. Kemudian ke-patriarkis-an barat itu dibawa oleh penjajah dan diterapkan ke dalam masyarakat Jawa baik dalam sistem pemerintahan maupun pendidikan.

Lalu di sinilah seorang Kartini menulis surat kepada temannya di Belanda yang berisi curahan hatinya mengenai kondisi kaum hawa di Jawa yang tidak mendapatkan hak-haknya dari otoritas pemerintah Hindia Belanda yang didukung oleh kelompok Priyayi (yang juga merupakan produk penjajahan). Bahkan sebagai seorang priyayi Kartini sendiri pernah menulis dalam suratnya “Panggil aku Kartini saja” yang kemudian digunakan oleh Pramudya Ananta Toer sebagai judul karangannya.

Adanya kegundahan batin seorang Kartini jelas tidak hanya muncul karena adanya bentuk tatanan sosial masyarakat patriarkis di Jawa, tetapi lebih karena penindasan dan hak-hak yang tidak diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda kepada kaum hawa. Jadi, jangan dikaburkan perjuangan Kartini yang menentang penindasan kaum hawa oleh Hindia Belanda menjadi seolah-olah Kartini menuntut hak-hak kaumnya dari ke-patriarkis-an masyarakat Jawa.

Selamat Hari Kartini, Per-empu-an!

Cawang, 21 April 2015