Sarjana Sekrup

by

Konon ada perdebatan kecil pada saat Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Beastudi Etos* tahun 2010 di Parung, Bogor. Perdebatan itu adalah mengenai penentuan Visi baru Beastudi Etos "Terdepan dalam membentuk SDM berkarakter untuk Indonesia unggul dan berdaya", apakah lebih tepat kata "membentuk" atau "mencetak"? Bukankah "mencetak SDM berkarakter" akan terdengar lebih diktif daripada "membentuk SDM berkarakter"? Namun dalam rapat itu akhirnya disetujui kata yang tepat digunakan adalah "membentuk". Karena secara makna dan filosofi mencetak dan membentuk mempunyai arti yang sangat berbeda. Dalam ilmu logam (metalurgi), untuk membuat sebuah benda dari logam ada banyak cara dan metode yaitu di antaranya Pengecoran (Casting), Pembentukan (Forging) dan Permesinan (Machining). Dari ketiga metode tersebut tentunya mempunyai maksud dan tujuan yang berbeda pula.

Metode casting digunakan untuk membentuk logam yang rumit dan mempunyai bentuk yang sama persis, metode casting juga mengharuskan logam yang dicor harus berbahan sama, biasanya menggunakan batangan logam (ingot). Dengan metode inilah seorang tentara dilahirkan, sebelum menjadi tentara tentu orang-orang yang akan masuk akademi sudah discreening terlebih dahulu mulai dari tinggi badan, berat badan, bentuk tubuh, tenaga sampai IQ. Baru setelah itu mereka dipanaskan sampai leleh dengan menjalani pendidikan sampai akhirnya dicetak menjadi seorang prajurit yang mempunyai sikap sama, cara pandang sama, bahkan bentuk tubuh dan potongan rambut yang sama.

Sedangkan metode forging (pembentukan) mempunyai beragam sub cara yaitu dengan ditempa, ditekuk, diroll dan lain-lain menyesuaikan kemampuan dan sifat dari masing-masing logam apakah lebih cocok dijadikan keris, pisau atau samurai. Itulah perbedaan mendasar dari sebuah proses "dicetak" dan "dibentuk".

Tetapi, saya melihat perguruan tinggi saat ini -dan tentu saja melihat sarjana lulusannya- justru tidak menerapkan metode casting maupun forging, akan tetapi machining atau permesinan. Sarjana-sarjana banyak dihasilkan dengan cara dibubut, mirip seperti sekrup. Untuk membuat sebuah sekrup, tentu tak sulit, cukup menaruh benda kerja (mahasiswa) dalam sebuah cakram yang berputar bernama sistem pendidikan, kemudian pahat tajam berupa mata kuliah siap mengulitinya membentuk drat, jadilah dia sekrup. Sedangkan dosen hanyalah operator yang menjalankan mesin bubut tersebut.

Kualitas dari sekrup itu hanya dinilai dari kepresisiannya dalam bentuk IPK, sedangkan kekuatan fisik material maupun chemical composition-nya tak pernah dinilai sebagai sebuah kesatuan. Sebagai sekrup, tentu sarjana tak bisa hidup mandiri, kecuali dia memutuskan untuk hidup sebagai bandul pancing -orang di desaku kadang menjadikan sekrup sebagai bandul pancing-. Untuk hidup, sekrup haruslah menempel pada sebuah sistem entah itu mesin atau sebuah struktur. Di situlah letak sarjana (muda) dalam dunia industri, ia menjadi sekrup kecil dalam sebuah raksasa korporasi yang terus-menerus bergerak tanpa henti mengikuti pasar, modal dan persaingan.

Akan menjadi sekrup yang ikut mengencangkan robot-robot modal asing, atau menjadi sekrup-sekrup gilingan padi yang membantu para petani, itu adalah pilihan. Dan bukan hal yang saya persoalkan.

Namun kesadaran akan hal ini harus dibangun sejak masih menjadi mahasiswa. Menurut penelitian yang dilakukan oleh salah seorang mahasiswi jurusan Pendidikan Dokter Undip di kampusnya, menyimpulkan bahwa IPK tidak berhubungan dengan cara seseorang berpikir kritis. Artinya formulasi sistem pendidikan yang selama ini diterapkan belumlah mampu mengukur "kecerdasan" seorang peserta didik. Karena -kembali ke sekrup-, bahwa tidak semua material dapat dibentuk menggunakan metode permesinan.

Tulisan ini saya bikin untuk mengingat kembali tepat setahun yang lalu pada tanggal 11 April 2014 saya dinyatakan lulus menjadi sarjana teknik. Setelah merayakan wisuda pada Mei, sebulan kemudian saya diterima di sebuah pabrik manufaktur mobil di Karawang. Di sana saya harus merasakan sendiri sakitnya ditinju palu godam dengan kenyataan bahwa menjadi Sarjana Teknik yang butuh empat setengah tahun bagi saya untuk menyelesaikannya, dengan kebanggaan baru menyelesaikan skripsi mengenai gasifikasi, tetapi dua bulan kemudian hidup saya dibeli untuk mengotak-atik Microsoft Excel dan Power Point.

Saya juga sering diejek oleh karyawan yang lulus SMA dengan mengatakan "Mas, lulus Sarjana kok nggak canggih pakai excel?". Dan saya cuma terdiam sambil merenungi apakah di sini pekerjaan Sarjana dapat dilakukan oleh orang yang bahkan tak perlu pendidikan formal asalkan lulus kursus mengolah Microfsot Office? Saya juga semakin bertanya-tanya, dengan fenomena banyak di antara teman saya yang ternyata bergelar Sarjana Pendidikan, yang entah kesasar atau keadaan bisa bekerja di pabrik mobil.

Sampai akhirnya, saya bertemu salah seorang Senior Manager di perusahaan tersebut. Beliau yang juga satu almamater dengan saya berkata, "Mas, di sini IPK tidak dipakai. Yang penting nalarnya jalan, cekatan dan cepat belajar". Di situ lah saya semakin yakin, bahwa saya adalah (hanyalah) sekrup.

Kesimpulannya adalah saya berpesan kepada terutama bagi yang masih menjadi mahasiswa muda, pilihlah metode manufaktur-mu sendiri, untuk membentuk dirimu menjadi apa saja sesuai dengan sifat-sifat material yang ada di dalama dirimu. Jangan menyerahkan diri pada sistem pendidikan, atau kamu hanya akan menjadi sekrup-sekrup penguat modal. Menjadi sekrup tentu tak ada salahnya, tetapi jadilah sekrup yang tidak hanya berfungsi sebagai penguat, tetapi sekrup penting yang diperhitungkan.

Sistem pendidikan kita masih lemah, bahkan saya masih menemui seorang sarjana yang masih bingung membedakan antara latar belakang dan rumusan masalah. Berpikir kritis, mampu mengidentifikasi masalah dan mempunyai pola pikir logic dan tertata adalah orang-orang yang dibutuhkan untuk memimpin kelangsungan perusahaan, perangkat pemerintahan atau organisasi-organisasi di dalam masyarakat. Dan itu semua tidak bisa didapatkan hanya melalui ruang kuliah yang mempunyai sistem pendidikan seperti ini. Berorganisasi, berkegiatan, mengikuti event-event 'tak penting' di kampus adalah salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk mendapatkan lebih dari sekadar IPK selama menjalani proses manufakturing pendidikan.
Sekian.

Cawang, 7 April 2015

*Beastudi Etos adalah lembaga beasiswa di bawah Dhompet Dhuafa, di mana saya adalah salah satu penerima manfaatnya. Saat ini Beastudi Etos telah ada di 20 PTN ternama di seluruh Indonesia dan telah mempunyai lebih dari 1000 alumni.