Warkop dan Olga Syahputra

by

Di awal tahun tujuhpuluhan ketika Indonesia sedang gencar-gencarnya melaksanakan program-progam pembangunan di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Indonesia saat itu menjadi sasaran empuk bagi investor-investor dari negara asing untuk memberikan investasi dan hutang kepada Indonesia. Salah satunya adalah Jepang, pada tahun 1974 Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka akan melakukan kunjungannya ke Indonesia bertemu Presiden Soeharto tentu dengan maksud ingin memberikan modal bagi pembangunan Indonesia dengan mendirikan pabrik-pabrik di tanah air. Berbeda dengan kondisi sekarang, ketika jaman Revolusi Mental di bawah Presiden Joko Widodo, Presiden kitalah yang harus datang mengemis kepada investor untuk datang ke tanah air. Mengundang pemodal asing untuk datang ke Indonesia saja sudah hal yang sangat memalukan bagi bangsa, apalagi kita yang harus mengemis datang kepada pemodal, oh Revolusi Mental.

Kembali ke tahun 1974. Beberapa bulan menjelang kedatangan Perdana Menteri Jepang tersebut tepatnya di akhir tahun 1973, sejumah mahasiswa UI mengadakan konsolidasi untuk menentang kedatangan Kakuei Tanaka ke Indonesia sebagai bentuk kesadaran penolakan modal asing di Indonesia. Di antara mereka, ada mahasiswa yang bernama Kasino, Nanu, dan Rudy Badil yang pada kegiatan inilah mereka bertemu dengan Temmy Lesanpura yang menjadi jalan bagi mereka untuk mengisi siaran "Obrolan Santai di Warung Kopi" di radio Prambors, yang beberapa bulan kemudian Dono baru bergabung dalam acara tersebut. Kemudian yang terjadi, pada tanggal 15 Februari 1974 menjelang kedatangan Perdana Menteri Kakuei Tanaka, terjadi demo besar-besaran di Bandar Udara Halim Perdana Kusuma. Pembakaran, penjarahan hingga pertumpahan darah terjadi di Jakarta pada waktu itu, sehingga tanggal ini tercatat sebagai peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Februari). Kasino, Dono, Nanu dan Rudy Badil pada waktu itu turut ambil bagian dalam sejarah yang sampai sekarang masih dikenang sebagai peristiwa heroik mahasiswa.

Dari diskusi-diskusi di lingkungan kampus, berangkat ke siaran radio, melawak di panggung sampai tenar di layar kaca begitulah sejarah legendaris grup lawak Warkop yang mengantarkan Dono bersama Kasino dan Indro berada dalam puncak ketenarannya. Di penghujung tahun 2001, tepatnya tanggal 30 Desember akhirnya Dono menghembuskan nafas yang terakhir karena penyakit tumor yang dideritanya, setelah 4 tahun sebelumnya terlebih dahulu ditinggal oleh karibnya Kasino.

Pada tahun-tahun itu pula, seorang pria kemayu bernama Yoga Syahputra rajin sekali ada di lokasi syuting untuk sekadar minta tandatangan artis idolanya sekaligus casting menjadi pemeran figuran. Pria ini sangat ambisius sekali ingin menjadi artis dimulai merintis karir mulai tahun 90-an di Lenong Bocah, sebagian besar orang saat ini percaya bahwa menjadi artis adalah cara mendapatkan segalanya yaitu harta dan ketenaran. Dari Lenong Bocah dan pemeran figuran yang hanya dijadikan sebagai bahan lelucon, akhirnya pria ini mencapai puncak kesuksesannya sebagai Olga Syahputra, memenangi banyak penghargaan bergengsi dunia hiburan, bahkan disebut-sebut gajinya dalam sehari mencapai 150juta.

Olga Syahputra adalah seorang komedian yang menggebrak dunia hiburan dengan lawakan-lawakan "gaya baru". Perbedaan yang sangat jelas dari lawakan Olga Sayahputra dengan grup lawak seperti Warkop, Bagito, Patrio, bahkan Srimulat adalah lawakan Olga yang serba spontan. Lawakan-lawakan jaman dulu seperti grup-grup lawak tersebut telah dipersiapkan sebelumnya, diatur dengan tempo, peran masing-masing anggotanya. Semua hal bagi Olga bisa dijadikan bahan tertawa, mulai dari mengomentari bentuk wajah orang, bencana alam sampai korban perkosaan-pun Olga bisa (tega) menjadikannya bahan tertawa. Maka, jangan heran sekarang ketika kita lihat pelawak-pelawak seperti Tessy, Gogon, bahkan Indro muncul di televisi sudah terdengar garing.

Walaupun dalam perjalanan karirnya Olga sering mendapat kecaman, bahkan beberapa acaranya dicekal oleh KPI, toh Olga tak pernah ditinggalkan oleh penggemarnya. Bahkan ratingnya di televisi semakin meningkat, televisi terasa sepi ketika tak ada Olga. Hal tersebutlah yang membuat Olga menjadi artis dengan bayaran tertinggi karena dalam sehari ia dapat mengisi lebih dari 3 stasiun telveisi di jam-jam yang berbeda.

Olga Syahputra dengan lawakannya yang tak mengenal ngempan papan (tau tempat) sebagaimana ajaran Orang Jawa telah menjadi fenomena yang mewakili kondisi masyarakat sekarang ini. Masyarakat yang tak suka dengan aturan, dengan dalih kebebasan berksekpresi, bebas bahkan melebihi hutan rimba. Nilai-nilai moral telah rontok oleh kebutuhan materialisme yang tiap hari dijejalkan oleh media (terutama) televisi. Masyarakat yang sudah capek, dan selalu capek karena mengejar materi dan menuruti konsumerisme-nya yang tak pernah puas, penat dan stress bekerja diburu dan memburu materi, di situlah Olga berperan sebagai penghibur yang bisa membuat tertawa dan melupakan sejenak kepenatan hidup.

Begitulah perbedaan Dono (Warkop) dengan Olga Syahputra.

Warkop lahir dari sebuah cita-cita kecil yaitu ingin mengkritik kondisi sosial dan politik dengan gaya-gaya menggelitik mereka. Sedangkan Olga lahir dari cita-cita ingin menjadi kaya dan terkenal. Masyarakat ketika Warkop lahir-pun sedang dalam masa krisis, tertawa sambil menahan lapar, menonton televisi beramai-ramai di tempat Pak Lurah -karena hanya Pak Lurah yang punya televisi-. Berbeda dengan kemunculan Olga, masyarakat yang berkecukupan, dengan televisi di setiap rumah, gadget di genggaman, bahkan seringkali kekenyangan, namun tak pernah merasa cukup.

Kelak, waktu akan membuktikan sejauh mana kekekalan lawakan Olga Syahputra yang serba instan, di tengah masyarakat instan. Apakah 40 tahun yang akan datang film dan lagu-lagu Olga Syahputra akan tetap diputar setiap tiba liburan. Sebagaimana Warkop masih eksis sampai sekarang? Saya kira tidak. Selamat jalan Olga Syahputra, terimakasih telah menjadi cermin bagi wajah asli masyarakat kita saat ini.


Cawang, 27 Maret 2015