Selepas Kampus #1

by

Saya tentu masih begitu ingat bagaimana nikmat bangun siang, setelah semalaman begadang mengerjakan tugas atau hanya sekadar nongkrong di warung kopi 24 jam. Tidur seharian atau duduk manis di perpustakaan saya lakukan secara merdeka, begitulah menjadi mahasiswa. Di suatu pagi salah seorang sahabat saya bilang “kita ini pengangguran terselubung”, dan iya memang begitulah sepertinya.

Mahasiswa adalah pengangguran modal status, ya tentu saja status ke-mahasiswa-annya. Dengan status itu, mahasiswa bisa mendapatkan semua hal, mulai dari penghargaan lomba tingkat internasional sampai pemakluman bokek tidak punya uang. Maka jadilah mahasiswa makhluk paling merdeka dengan segala tindakan dan pilihan hidupnya. Mahasiswa juga merdeka menghabiskan waktunya digunakan untuk apa, melakukan study baik di dalam kelas maupun di luar, berorganisasi, mengaji atau mencari uang. Setelah mengalami masa-masa kemerdekaan, mahasiswa mulai dilatih untuk terikat, kepada bos bernama dosen pembimbing, dan diberi pekerjaan yang bernama skripsi. Di situlah mahasiswa mulai belajar untuk menghadapi dunia industri yang berprinsip “engkau adalah sekrup kecil dalam robot raksasa yang sedang bertarung dalam sebuah persaingan”. Mungkin masih ada dosen pembimbing yang masih sangat peduli dan membimbing dengan hati pada mahasiswanya dengan sering mengingatkan progress skripsi, tapi tidak sedikit dosen yang acuh dan menganggap mahasiswanya adalah sekrup kecil dalam proyek-proyeknya. Itulah cara kerja otak industri yang bahkan sudah tertanam sejak dalam dunia pendidikan.

Juni 2014

Tidak sampai sebulan setelah saya diwisuda sebagai seorang sarjana teknik, pada pertengahan bulan Juni 2014 saya diterima sebagai karyawan industri manufaktur mobil Jepang di Karawang. Dari awal sudah saya niatkan untuk menerima pekerjaan di manapun, mengingat tak mau lama menyandang gelar sebagai penganggur dan apalagi membebani orang tua, dan apalagi komentar tetangga-tetangga "sudah lulus kok belum bekerja?".
Singkat cerita, lagi-lagi saya menangkap fenomena bahwa perguruan tinggi benar-benar saya rasakan seperti mesin bubut otomatis yang memproduksi baut-baut kecil dengan produksi puluhan ribu setiap tahunnya bernama sarjana. Baut-baut itulah yang nantinya digunakan untuk menguatkan mesin-mesin raksasa industri modal multinasional. Dari mana logikanya, beberapa dari teman-teman saya satu angkatan kerja di pabrik manufaktur adalah lulusan universitas negeri di Yogyakarta bergelar S.Pd (Sarjana Pendidikan) yang seharusnya memagang kapur dan penghapus dan menulis di papan tulis sebagai guru di sekolah, bukan sebagai pekerja industri manufaktur. Entah salah siapa ibu mengandung, tetapi ini adalah fenomena di mana pendidikan hanya dijadikan sebagai penyokong roda industri.
Saya masih ingat betul beberapa bulan sebelum saya memulai kerja di pabrik manufaktur mobil, saya adalah orang yang mempunyai inisiatif untuk mengadakan diskusi tentang LCGC (Low Cost Green Car) yang digagas oleh Kemenhub, dan tentu saja waktu itu menuai pro dan kontra. Sebagai mahasiswa, dan apalagi bergaul dengan para aktivis tentu saja saya menolak LCGC, karena bertentangan dengan berbagai program pemerintah untuk mengatasi kemacetan dan menambah angkutan massal yang memadai.

Dan, jreng jreng saya tiba-tiba menjadi sebuah sekrup kecil bekerja mengencangkan pabrik mobil yang memproduksi LCGC. Sejak dari awal, saya memang berniat untuk tidak bertahan bekerja di industri ini, karena sama sekali tidak ada kebanggaan. Setiap bangun tidur dan berangkat kerja dengan bis jemputan, saya seperti sedang melaksanakan Romusha. Ditambah lagi, ketika di pabrik langsung berhadapan dengan Orang-orang Jepang yang seperti mandor. Perusahaan manufaktur Jepang menjadikan negara-negara di ASEAN terutama Thailand dan Indonesia sebagai penjahit produk-produke mereka. Tanpa mengajari bagaimana membuat desain dan pola. Tak jauh beda kan? Dengan romusha.

Maka, niat untuk mengundurkan diri dari pabrik ini sudah bulat, tanggal 3 Desember 2014 menjadi hari terakhir saya menjadi pekerja Romusha, tepat setelah 6 bulan bekerja. Merdeka!

Cawang, 25 Maret 2015