Takdir itu Tidak Ada

by

Kali ini saya akan membahas soal takdir. Takdir yang selama ini menjadi perdebatan dan pertanyaan, terutama bagi kalangan umat Islam. Bahkan sejak masa-masa Bani Ummayah dan Abasiyyah. Di dalam sejarah Kristen pun topik tentang takdir inipun selalu menjadi perdebatan. Mohon maaf jika pemikiran saya ini berbeda dengan yang diajarkan selama ini, saya tidak bermaksud ingin menyesatkan, semata-mata ini hanyalah proses belajar yang akan selalu kita lakukan hingga akhir hayat. Dalam kitab Al-Quran disebutkan bahwa manusia diciptakan satu paket dengan perbuatannya.

Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat (As-Safat / 37:96)

Di ayat lain pun, Tuhan berfirman bahwa nasib manusia bisa diubah oleh dirinya sendiri.

“Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia “ (Ar Ra'd / QS. 13:11)

Maka, secara umum dalam Islam terpecah menjadi tiga golongan dalam menyikapi takdir. Pertama golongan yang mengimani bahwa semua perbuatan manusia telah ditentukan oleh Tuhan, baik itu perbuatan jahat maupun baik. Tugas manusia hanyalah menjalani, ibarat wayang yang pasrah dimainkan oleh dhalang. Golongan ini disebut Jabariyyah.

Golongan yang ke dua adalah golongan yang mengimani bahwa manusia terbebas dari takdir, Tuhan tidak campur tangan dalam perbuatan yang dilakukan manusia. Manusialah yang menentukan nasibnya sendiri. Sehingga, tidak ada istilah takdir dalam golongan ini. Golongan inipun disebut Qadariyyah.

Kemudian golongan yang terakhir adalah golongan yang mengambil jalan tengah, yaitu golongan yang menganggap bahwa ada bagian dari hidup yang telah ditetapkan dan ada bagian lain yang bisa diubah oleh manusia. Golongan inilah yang selama ini diajarkan di Indonesia. Menganggap bahwa kelahiran, kematian, jodoh dan rejeki telah adalah bagian yang telah ditetapkan Tuhan.

Dan di sinilah kebingungan itu, berpikir antara mempercayai bahwa Allah lah yang menciptakan perbuatan manusia, atau manusia itu sendiri yang menciptakan perbuatannya. Sebelumnya perlu diketahui bahwa dalam Islam, takdir dimaknai sebagai qada dan qadar. Secara sederhana, dalam pelajaran Pendidikan Agama Islam yang kita dapat di bangku sekolah qadar diartikan sebagai ketetapan Tuhan yang tidak dapat diubah, lalu qada’ adalah ketetapan Tuhan yang dapat diubah. Sebenarnya pengertian itu rancu dan kurang tepat.

Memang banyak sekali makna dari qada’ maupun qadar secara harfiah, namun secara sederhana qadar dapat diartikan sebagai hukum dan aturan-aturan yang dibuat oleh Tuhan sejak jaman azali, kita sering mengenalnya dengan hukum alam, itulah qadar seperti gravitasi, kekekalan energi, kekekalan massa dan sebagainya itu merupakan hukum yang diciptakan oleh Tuhan. Adapun Qada’ adalah keputusan atau penciptaan yang dikehendaki Tuhan atas dasar qadar. Contohnya, Tuhan menciptakan gunung dan samudra, itu diciptakan dengan mekanisme dan hukum alam yang berlaku, yang sebelumnya sudah diciptakan Tuhan.

Atas dasar tersebut, saya mempunyai pandangan yang berbeda tentang takdir yang selama ini diperdebatkan. Menurut saya, manusia tidak serta merta menjadi boneka yang harus menjalankan skenario Tuhan, akan tetapi manusia sudah diberikan jatah kehidupan. Kelahiran, kematian, jodoh, rejeki, dan sebagainya sudah dijatah. Akan tetapi manusia berkehendak dan mempunyai kuasa untuk mengambil jatah itu atau tidak. Manusia tidak akan bisa melampaui dari apa yang telah dijatahkan Tuhan, tetapi manusia bisa menghindari jatah tersebut sehingga dia tidak mendapatkan yang “terbaik”. Karena jatah yang diberikan Tuhan itu adalah jatah terbaik yang sudah disesuaikan dengan kadar kita masing-masing.

Dalam rejeki contohnya begini, saya sudah ditajahkan oleh Tuhan bahwa hari ini akan mendapatkan uang sebesar Rp 100.000,- secara halal. Akan tetapi, saya tidak mengusahakan apa yang telah dijatahkan Tuhan tersebut, sehingga saya hanya mendapat Rp 40.000,- . Begitupun sebaliknya, esok hari saya dijatahkan Tuhan hanya mendapat uang sebesar Rp 50.000,- , walaupun saya berusaha sekeras apapun hasil yang saya dapatkan hanya Rp 50.000,- tidak bisa lebih dari itu, karena itu sudah menjadi jatah saya.

Dalam kematian contohnya begini, Anda sudah dijatahkan oleh Tuhan berumur 80 tahun. Akan tetapi pada waktu terserang penyakit, Anda tidak berusaha maksimal untuk mengobati sehingga umur Anda hanya 60 tahun, karena Anda tidak berusaha mengambil jatah tersebut. Sebaliknya, teman Anda dijatah berumur 40 tahun, walaupun dia setiap hari selalu menjaga kesehatan, selalu hati-hati dalam segala hal, tetap umurnya maksimal hanya 40 tahun karena itu sudah menjadi jatahnya.

Di sinilah pentingnya berikhtiar atau do the best sehingga apa yang kita dapatkan adalah apa yang sudah dijatahkan oleh Tuhan, dan itu adalah yang terbaik karena Tuhan selalu memberikan kita yang terbaik, tinggal manusia mau memilih yang mana. Perlu diingat bahwa neraka diciptakan Tuhan setelah manusia diturunkan di bumi, karena Tuhan ingin tempat yang terbaik untuk manusia yaitu surga. Neraka hanyalah tempat bagi orang-orang yang tidak mau mengambil jatah mereka, yaitu surga.

Begitulah pemikiran saya soal takdir. Jadi, menurut saya takdir itu tidak ada, yang kita sebut “takdir” selama ini adalah jatah yang sudah diberikan, dan kita tidak akan mampu melampaui batas jatah itu. Setiap manusia sudah dijatah, dan jatah itu adalah yang terbaik. Tergantung kita, ingin mengambil jatah itu atau tidak. Jika tidak mengusahakan yang terbaik (ikhtiar) maka kita juga tidak akan mencapa jatah yang terbaik. Tuhan memang maha baik, kita diberikan jatah yang terbaik dan kita sendiri yang diminta untuk menentukan mau mengambil jatah itu atau meninggalkannya. Pemikiran saya ini tentu belum pemikiran final, saya sebagai manusia akan terus belajar mencari kebenaran yang hakiki.