Ibu ku adalah Peri

by

Anang Dianto
Aku bosan di sini. Kamar gelap dengan satu tempat tidur reot tak layak untuk merebahkan punggung ku yang mungil seksi ini. Cuih, menjijikkan. Dinding yang telah mengelupas catnya di sana-sini.
“Ibu... cepat ibu…”
Aku juga telah bosan memanggil nama itu. Ibu yang selama ini diagung-agungkan oleh semua orang. Tapi bagiku ibu hanyalah seorang babu, wanita yang kadang membuatku malu ketika teman-teman ku datang ke rumah. Kenapa aku dilahirkan dari rahim seorang ibu yang seperti itu? Yang hanya bekerja sebagai buruh cuci, tak pernah memakai perhiasan, sandal pun tidak apalagi baju-baju fashion yang sedang modis saat ini. Berbeda dengan teman-temanku, mereka selalu membangga-banggakan ibunya yang sering membeli perhiasan, pergi ke arisan, dan tak jarang pergi ke luar negri membawa oleh-oleh cantik.
Ibu yang seperti itu layak dipanggil tante.
“Ada apa Tin?”
Seringkali aku bertanya dalam hati, jangan-jangan dia bukan ibu kandungku? Semua ini terasa aneh, dari mana kulit langsatku ini sedangkan ibuku berkulit coklat tua kontras jika di bandingkan dengan ku. Dari mana hidung mancungku, bibir tipisku, mata kejoraku ini sedangkan wajah ibuku sering dibilang jelek oleh teman-teman. Kalau sudah begitu, aku terdiam merasa sangat malu dan akan ku tumpahkan kekesalanku itu kepada pada ibu.
“Ada apa Nak?”
Aku hanya terdiam, memandang ibu memakai kaos putih kecoklatan kusut dan bernoda di sana-sini. Kadang aku sangat jengkel ketika aku sedang marah, namun ibu tetap tenang bahkan malah kadang tersenyum. Ini ibu sudah gila, begitulah aku sempat berpikir. Bagaimana mungkin seseorang yang setiap hari mendapat makian dan hinaan tidak sedikitpun menunjukkan rasa marah. Setiap celaanku pasti dibalas dengan senyum, setiap kata-kata kasarku selalu dibalas dengan tutur yang begitu lembut. Manusia atau peri sih?
“Itu, dah tau ada pakaian kotor ya dicuciin lah…”
Lagi-lagi ibu hanya diam sambil memunguti pakaian ku yang berserakan di lantai tanpa ekspresi marah sedikit pun. Lama-lama aku sendiri yang merasa bosan jika harus marah-marah terus sama ibu. Kenapa ibu tak pernah marah? Kenapa? Kenapa? Sebaliknya kenapa aku selalu marah-marah? Kenapa? Hah....
Ibuku terlalu mulia untuk menjadi seorang ibu bagiku. Dia memang bukan manusia, dia adalah peri yang ditugaskan Tuhan untuk menjagaku, walau kadang dan sering kali aku tak pernah menganggapnya, bahkan memakinya tak peduli ibu sedang lelah atau gundah tetapi ibu tetap tak pernah marah, tak pernah!
Jika dia benar-benar peri, betapa beruntungnya aku. Berbeda dengan teman-teman ku, ibu mereka adalah manusia yang masih mempunyai nafsu dunia. Tetapi ibuku suci, dia tak tersentuh dosa. Dia tercipta dari cahaya, bukan tanah liat yang selalu berubah bentuk ketika disentuh.

Ibu masih memunguti pakaian-pakaian kotorku yang berserakan.
“Ibu....”
Aku berteriak sangat keras, sederas lelehan air mata yang menggenangi pelupuk ini. Aku meloncat dari tempat tidur. Aku memeluk tubuh rentanya, aku memeluk ibu? Seingatku baru dua kali ini setelah dulu aku pernah memeluk ibu waktu disuntik cacar saat masih balita.
Ibu, aku tak dapat berkata apa-apa aku ingin menciumi jari-jari kakimu. Aku ingin membaca peta ke surga yang katanya ada di telapak kaki mu ibu.
“Kenapa ibu diam saja?
Ibu, maukah ibu memaafkan ku? Mau ya Bu. Aku memang tak lebih dari seorang anak durhaka, tapi ibu kan tak pernah marah ya Bu.
Ibu tetap diam tak berkata sepatah katapun.
Setelah kejadian itu, selama tiga puluh hari ini aku selalu menjenguknya di sini, di gundukan tanah yang masih merah ini. Gundukan ini setiap hari kusirami dengan air mataku. Kata dokter yang memfisumnya waktu itu, ibu mengidap leukimia. Apa ibu tahu tentang penyakitnya? Kalau ibu tahu kenapa ibu hanya diam saja? Tak pernah ku sekalipun mendengarnya merintih apalagi mengeluh.
Sekarang aku semakin yakin, dia bukan manusia. Dia adalah peri, ya peri dari langit yang akan kembali ke langit.
Maafkan aku ibu, maafkan aku. Mudah-mudahan ibu selalu tersenyum di sana. Maafkan aku peri penjaga ku. Walau aku hanya seorang manusia kotor, aku ingin menjadi peri sepertimu.
Jl. Dr. Sardjito Jogjakarta, 27 Desember 2009