Jakarta Oh Jakarta
by Unknown
Turun dari kereta, untuk ke sekian kalinya menginjakkan kaki di Jakarta. Aromanya tak pernah berubah. Stasiun Jatinegara adalah stasiun pertama yang akan disinggahi kereta ketika memasuki Jakarta, namun hanya sebentar setelah itu kereta melaju lagi ke arah barat menuju Stasiun Senen dan Gambir di Jakarta Pusat. Di pintu keluar belasan sopir taksi, ojek dan bajaj mencegat rombongan penumpang menawarkan jasa mereka : aku lewat begitu saja tanpa peduli.
Keluar dari Stasiun, tujuan utama adalah Masjid. Karena di kereta tidak memungkinkan untuk shalat, mumpung belum subuh, harus melakukan jama’ maghrib dan isya’. Belum juga subuh, Jakarta sudah bangun oleh teriakan kernet bus kota, bajaj, dan puluhan pengendara membuat pagi yang beku menjadi cair.
Sempat bingung juga mencari Masjid, akhirnya mimilih mencari toilet dulu karena kebelet tak tertahankan sejak turun dari kereta. Menyebrang jalan toilet umum di samping kantor polisi, dan kebetulan sekali ternyata tak jauh dari situ ada mushala. Alhamdulillah. Setelah ke toilet buru-buru melakukan shalat jama’.
Ada waktu jeda menunggu subuh, aku cari tempat yang bisa nitip charger hp, karena sejak di atas kereta hp sudah mati. Yup, ternyata di samping masjid ada abang-abang penjual rokok yang buka jasa nge’charge hp, beruntung!
Subuh pun tiba, Jakarta bergema dengan adzan yang sahut-menyahut.
Pagi pun tiba, suasana menjadi semakin riuh ramai. Aku teringat sesuatu : ternyata bekal makanan yang dikasih ibu belum ku makan karena di kereta tak memungkinkan untuk makan, hanya minum. Sebungkus nasi dan seekor lele bakar aku tak peduli masih enak dimakan atau tidak, tapi tetap harus ku makan untuk menghargai orangtua hehe, (gini-gini berbakti).
Rencananya adalah hari ini langsung pesan tiket kereta untuk pulang, setelah mandi, nunggu loket stasiun buka sambil nunggu baterei hp penuh sambil pesen kopi ke abangnya. Sungguh pagi yang sempurna, dengan pemandangan jalan yang bagai pasar malam. Bajaj, angkot, bus kota, sepeda motor, sampai mobil-mobil pribadi saling berebut jalan. Pak Polisi pun beraksi, haha ini pemandangan yang tidak pernah dijumpai di Jogja, Pak Polisi tidak ragu-ragu memukul badan bajaj atau angkot yang bikin macet sambil marah-marah, mungkin pemandangan seperti ini sudah biasa di Jakarta.
Pukul delapan. Setelah bayar kopi dan biaya nge’charge langsung cabut ke loket stasiun. Oh My God! Ngga menyangka loket sudah antri panjang (rugi banget deh nunggu dari pagi-pagi). Loket kereta api bisnis, oh itu, antriannya paling panjang. Dan jreng jreng jreng, di pengumuman digital ternyata kursi kereta api bisnis tujuan Jogja sudah habis terpesan 5 hari ke depan. Hhhh... sebenarnya hal ini sudah terduga sebelumnya karena ini adalah musim akhir liburan.
Rencana pun jadi berubah total, alternatifnya adalah bus malam. Tetapi dari dulu aku memang enggan naik bus malam, membayangkan kecelakaan-kecelakaan lalu lintas itu mengerikan. Kereta api adalah transportasi relatif aman. Tapi apa boleh buat?
Keluar dari terminal, mencari angkot atau bis yang bisa mengantar ke Depok. Tanpa pikir panjang langsung naik bis kota entah jurusan mana, tapi setelah meninggalkan stasiun tiba-tiba sadar. Kenapa ke arah timur? Oh My Ghost aku salah naik, ini mah bis yang mau ke Bekasi. Tuing tuing, kiri bang! Balik lagi ke arah stasiun jalan kaki, karena kebetulan jalannya untuk arus cepat. Capek mengkis-mengkis akhirnya naik angkot 6A jurusan Gandaria, nah ini pasti benar. Duduk di belakang sopir, sambil menikmati suasana lalu lintas Kota Jakarta.
Entah melewati jalan mana saja (maklum bukan orang Jakarta), berhentilah angkot itu di depan mall Cijantung. Cuma mau memastikan aku tanya abang sopirnya, “nyampe Gandaria ngga Bang?” (dengan gaya Jakarta’an meskipun medoknya ngga bisa ditutupi hehe). Si abang pun menjawab wah ngga nyampe Gandaria, sama si abang disuruh naik angkot 112 jurusan Depok langsung.
Oke, aku turun. Tetapi tidak langsung mencari angkot, malah kepikiran buat mampir ke tempat saudara di daerah Cijantung. Kayak orang hilang aku pun hilir mudik, tujuanku adalah SMP N 103 karena saudara ada di sana, hanya mengikutii feeling karena terakhir ke sana sekitar 5 tahun yang lalu, sampailah pada abang ojek, SMP 103 bang. Tanpa pikir panjang si abang langsung mengiyakan, lega lah perasaan. Akhirnya sampailah di depan SMP N 103, setelah tanya satpam yang juga berasal dari daerahku ditunjukkanlah ruangan saudaraku itu. Sampai di depan ruangannya, kaget hah sampai sini Nang sama siapa? Dan mulailah berbasa-basi, diajaklah aku makan di warteg.
Setelah di antar ke rumah yang tidak jauh dari SMP, aku istirahat.
Setelah itu langsung ke Depok diantar saudara lain yang kuliah di Universitas Pancasila.
Kini aku lihat sepasang mata itu, senyuman itu,
Ku dengar suara dan ku cium bau keringatmu yang memabukkan,
Di antara danau yang sedang tidur siang dan pohon-pohon perindang yang mengantuk,
Aku dan kau menunduk
Dalam percakapan yang malu-malu
Malam harinya nginep di rumah saudara dan kebetulan sekali ada rencana pergi ke PRJ (Pekan Raya Jakarta). Okelah, tanpa pikir panjang langsung mengiyakan. Sampai di Kemayoran sudah hampir maghrib bergegas masuk, selamat datang keriuhan.
Aroma kerak telor sudah tercium di setiap sudut lokasi. Semua orang tumpah ruah dari berbagai macam kelas sosial dan ekonomi, mulai dari kelas ekonomi bawah yang datang naik angkot sampai orang gedhongan yang naik mobil mewah dengan sopir peibadinya, semua ada. Inilah Jakarta, inilah Indonesia yang katanya berkeadilan sosial tetapi sebaliknya terjadi ketimpangan sosial yang benar-benar nyata.
Pekan Raya Jakarta sendiri tidak seperti yang ku bayangkan di mana di dalamnya dipamerkan produk-produk khas Jakarta dengan budayanya. Malah sebaliknya, yang ada hanyalah produk-produk mewah dan kapitalistik, ya tidak dapat dipungkiri lagi bahwa PRJ ini hanya dalam rangka bisnis semata. Even sebesar ini dapat menyedot masyarakat untuk berbondong-bondong datang dan inilah yang dimanfaatkan oleh para investor. Jadi teringat kata-kata seorang pujangga besar Pramoedya Ananta Toer,
“ “
Perjalanan pulang
Di sepanjang jalan plang-plang menunjuk tak acuh,
Hanya baliho yang di dalamnya berisi gambar perempuan setengah telanjang itu,
Yang berkedip-kedip merayu kami.
Apa yang kau simpan Jakarta?
Di balik kelap-kelip kepalsuan,
Kau bungkam rintihan suara bayi yang minta susu, di bawah kolong jembatan
Dan beton-beton angkuh
menyembunyikan rintihan-rintihan pelacur yang melenguh
Saat ditiduri seorang pejabat, kau tahu
Namun hanya diam seolah bisu
Apa yang kau simpan Jakarta?
Sampai di rumah sudah tengah malam, lelah, saatnya tidur.