Sebelum Berakhir Kata, Sebelum Detik Menamatkan Ceritanya *

by

Yang tak kan pernah singgah adalah waktu
pada lekuk gua dan bongkahan batu-batu, di sanalah waktu meninggalkan jejaknya yang abadi. Pada lembar manuskrip, yang mengekalkan cerita; roman dan peperangan. Juga pada tanah yang retak menganga, haus darah yang tertumpah. Pada jejak-jejak itu pergulatan kita dengan waktu akan menggores luka.

Langkah kita terlalu gaduh, sehingga tak mendengar pada yang mengaduh. Tak habis-habisnya kita mengerang, di dalam lubang yang kita bikin sendiri, menjadi sarang. Oh, mengapa kita tergesa dalam engah panjang. Sementara rembulan masih melengkungkan asma-Mu. Mungkin kita sedang sibuk berebut astagina, cupu yang tenggelam ke dasar telaga dalam rimba, asal mula petaka.

Yang tak kan pernah diam adalah debur
angin risau mengadukan pilu kepada pasir yang terhempas sampai pesisir, kotamu. Seorang bocah duduk sendiri termangu dalam mimpi tentang rembulan yang jatuh ke dalam sumur, dan langit malam menjadi sehitam lumpur.

Dengarkanlah,
di luar angin berunding dengan pepohonan. Di antara jalanan dan gedung-gedung tinggi, dingin berusaha memecah kaca jendela rumah kita.
Oh, betapa kita telah menjadi nyamuk di dalam rumah tua tak berpenghuni.

Yang tak kan pernah sirna adalah Nur
mata bocah-bocah menghamburkan kunang-kunang ke angkasa, ketika doa melinangkan makna. Tubuhnya kurus terbalut debu, namun jalannya pasti menuju ke karang senja.

Katamu, berangkatlah, sebelum berakhir kata, sebelum detik menamatkan ceritanya.

Yogyakarta, Desember 2011

*) Puisi ini pernah dilombakan dalam ajang "Lomba Cipta Puisi Islami" HiFest FORMASI FIB UI.